Di era tahun 1960 sampai 1990-an, keberadaan Benhur cukup berarti bagi masyarakat Bima. Bisa dikata, Benhur adalah alat transportasi andalan pada masa itu dan bersaing pula dengan angkutan umum lainnya seperti Bemo Kota. Namun kini memasuki era tahun 2000-an, keberadaan Benhur makin tersisih dengan menjamurnya Ojeg dan transportasi umum lainnya.
Pada tiga dekade itu, kampung Sadia bisa dikatakan sebagai kampungnya Benhur. Hampir setiap rumah ditemui Benhur dan Gerobak serta kuda yang diikat di bawah kolong rumah maupun di halaman rumah warga. Warga kampung Sadia memang tidak memiliki sawah dan kebun meskipun kampung ini dikelilingi oleh sawah dan kebun. Karena lahan itu justru dimiliki oleh penduduk di luar Sadia. Sebahagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai kusir Benhur, kuli bangunan, tukang, penjual Tempe, dan buruh tani.
Dulu keberadaan benhur sangat membantu warga Bima khususnya untuk wilayah-wilayah kampung-kampung atau wilayah yang tidak terjangkau oleh angukatan umum (bemo), namun pada perkembangannya keberadaan benhur di Bima mulai tersisihkan dengan keberadaan ojeg yang menjamur, dan imbasnya konsumen mereka (kusir benhur) semakin berkurang, dan banyak dari mereka telah menjual Benhur dan kudanya ke wilayah-wilayah pedalaman di Kabupaten Bima. Mereka adalah saksi sejarah tersisihnya Benhur sebagai alat transportasi masyarakat Bima tempo dulu.