Home » , , , , » Sambori: Pengelompokan Sosial dan Kepemimpinan

Sambori: Pengelompokan Sosial dan Kepemimpinan


Foto: Alan Malingi
Secara historis penduduk Sambori dan desa-desa sekitarnya tidak lepas dari dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat Bima. Masyarakat Sambori dan sekitarnya pada awalnya merupakan penghuni dataran rendah, tepatnya dari sekitar Teluk Bima. Mereka memiliki adat istiadat, bahasa dan kepercayaan tersendiri. Setelah agama Islam masuk ke Bima, mareka menyingkir di dua daerah pegunungan (Donggo) dalam satuan-satuan kelompok kecil. Perpindahan mereka dilakukan dalam upaya adat istiadat dan kepercayaan mereka, marapo ro makimbi.

Kelompok pertama menuju ke daerah Pegunungan Soromandi yang disebut sebagai Donggo Ipa (barat). Kelompok kedua menyebar ke Pegunungan Lambitu yang dinamakan Donggo Ele (timur), meliputi desa Sambori, Teta, Kuta, Kalodu, dan Tarlawi. Sampai sekarang mereka dikenal sebagai Dou (orang) Donggo yang artinya Orang Pegunungan. Bukan Dou Mbojo untuk sebutan penduduk Bima pada ummnya.
Menurut tokoh Desa Sambori H. Mansur Idris (57) nama Sambori berasal dari nama setempat sambore yang artinya “palu”. Kata palu digambarkan sebagai keuletan masyarakat Sambori dalam menentang serangan dari masyarakat luar (diperkirakan, masyarakat luar tersebut adalah pemeluk agama Islam, ketika Kerajaan Islam Makasar menguasai Bimapada abad ke 17). Versi kedua, Sambori berasal dari kata “sampori” yang artinya terlepas atau pisah. Diilustrasikan pada saat masyarakat pendatang yang beragama Islam memasuki Bima, masyarakat asli Bima menyingkir ke pedalaman secara berkelompok. Salah satu kelompok tersebut memisahkan dirinya dari kelompok lain yang kemudian menyebut dirinya sebagai penduduk Sambori (Haris, 1996).
H. Mansyur menuturkan, kedatangan penduduk ke Desa Sambori berlangsung secara bergelombang. Sebagian besar masyarakat Sambori berasal dari Tembanae, Kecamatan Belo. Mereka melakukan eksodus pertama ke Manggeparaja, Desa Ngali. Dalam perjalanannya mereka melakukan eksodus kedua kalinya dari Manggeparaja ke Sambori. Hal ini dapat dilihat dari adanya ikatan kekeluargaan antara penduduk Sambori dengan beberapa masyarakat di Manggeparaja. Ada dua versi yang mendorong mereka melakukan perpindahan dari Ngali ke Sambori. Pertama, mereka merasa tidak mampu bersaing dengan para pendatang dalam kegiatan ekonomi. Kedua, mereka merupakan pelarian dari kejaran pemerintah Kolonial Belanda. Jika alasan kedua ini benar, berkaitan dengan adanya perang Ngali ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1908-1909.
Sementara menurut salah seorang keluarga Kesultanan Bima, Massir Q. Abdullah (62), diperkirakan sebagian penduduk asli Sambori adalah pengikut Raja Salisi (Rumata Salisi) yang tinggal di sekitar Gunung Lambitu. Dalam sejarah kesultanan Bima, Raja Salisi merupakan keluarga kesultanan yang pernah melakukan kudeta untuk menguasai Kesultanan Bima. Raja Salisi beserta pengikutnya terdesak oleh pengikut setia Kesultanan Bima atas bantuan kerajaan Islam Gowa, Sulawesi selatan pada sekitar abad 17. petilasan dari pengikut Raja Salisi di Sambori dapat dilihat dari ada perkampungan kecil, seperti Jena dan Bedi yang merupakan nama jabatan Kesultanan Bima.


Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger