Home » , » Sistem Pemerintahan di Bima, Dari Jaman Naka Ncuhi - Republik

Sistem Pemerintahan di Bima, Dari Jaman Naka Ncuhi - Republik


Jaman Naka-Ncuhi
Pada jaman Naka (pra sejarah) belum dapat diidentifikasi tempat tinggal masyarakat asli, apakah di goa-goa atau di bawah pohon (ITS, 1984). Pada saat itu, masyarakat asli Bima hidup terpencar-pencar di daerah pesisir, lembah, dan pegunungan. Mereka kemudian hidup berkelompok atas dasar ikatan keluarga, menempati daerah tertentu dan membentuk masyarakat paguyuban. Dinamika kehidupan berkelompok ini diikuti dengan terbentuknya adat istiadat yang melandasi interaksi sosial antara mereka (Tajib, 1992). Untuk menjembatani hidup antar kelompok, mereka mengangkat seorang pemimpin (Ncuhi) yang mengatur interaksi kelompok berdasarkan pranata dan adat istiadat yang telah ditetapkan.
Menurut kitab BO (tulisan lama Kesultanan Bima), Ncuhi adalah “Indo kapo ndei tangara takai Ncuhi ede du domo dou, ina mpu’u ma ba weki ma rimpa, ndei batu wea ta telenadi siri wea ta nggawona”. Ncuhi adalah manusia utama, induk muasal dari kita semua untuk kita ikuti semua arah condongnya, tempat mengharapkan pelindungan atau pengayomannya. Ncuhi juga digambarkan sebagai pemimpin yang tetap hidup dalam wujud roh parafu (Tajib, 1992).
Kitab BO juga menyebutkan, ncuhi menguasai wilayah yang meliputi daerah pegunungan dan lembah yang luas. Di Bima terdapat lima kerajaan ncuhi, yaitu : Ncuhi Dara menguasai wilayah tengah, Ncuhi Parewa menguasai wilayah selatan, Ncuhi Padolo menguasai wilayah barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah utara, dan Ncuhi Dorowoni menguasai wilayah timur. Kelima kerajaan ncuhi besar  ini kemudian membentuk semacam kerajaan federasi dan mengangkat Ncuhi Dara sebagai Kepala Federasi. Tiap-tip kerajaan ncuhi membawahi beberapa ncuhi dengan luas wilayah setingkat desa sekarang.

Dalam kitab yang sama dinyatakan, masyarakat asli Bima sedikit banyak pernah melakukan interaksi dengan Kerajaan Majapahit yang dimulai pada abad ke-13. bahkan dalam transkrip kitab BO, raja Bima pertama berasal dari keturunan keluarga Kerajaan Majapahit. Diawali dengan pertemuan antara Ncuhi Dara dengan seorang yang bernama Sang Bima yang yang diyakini sebagai salah seorang petinggi Kerajaan Majapahit. Ncuhi Dara meminta Sang Bima menjadi raja yang memerintah kerajaan Ncuhi. Permintaan diterima oleh sang Bima dengan mengatakan kelak akan datang keturunannya untuk memerintah. Dari sinilah cikal bakal munculnya kerajaan Bima. Dengan raja pertama Indra Jamrud dan dibantu adiknya Indra Komala yang diyakini masih keturunan sang Bima.
Menurut kitab BO, para ncuhi masih memiliki otonomi untuk memerintah Federasi Ncuhi. Mereka diberikan hak-hak istimewa oleh raja, seperti tidak boleh mengambil harta benda mereka, tidak boleh diperintah berpergian oleh kerajaan, dan tidak boleh mengambil keturunan ncuhi untuk menjadi pelayan atau pengasuh. Bahkan Ncuhi berkewajiban melantik setiap pergantian raja baru Kesultanan Bima.

Ncuhi Sambori berada di bawah kekuasaan Ncuhi Parewayang berkedudukan di Gunung Parewa. Sebagai pimpinan paguyuban Ncuhi Sambori adalah Ncuhi Tuki. Didalam menjalankan tugasnya dia dibantu oleh tokoh-tokoh adat lainnya yang mengurusi bidang upacara-upacara adat, seperti Panggita dan Panggawa yang menangani upacara-upacara adat pertanian dan Sando yang mengurusi tolak bala.
Kedudukan Ncuhi Tuhi atau kedudukan tokoh adat hanya bisa diwariskan kepada keturunan keluarga. Kedudukan Ncuhi tidak dilakukan melalui proses pemilihan. Dia dapat mewariskan kedudukannya kepada salah seorang anaknya yang dianggap mampu mengemban tugas kencuhian. Anak tertua tidak secara otomatis dapat menggantikan kedudukan ayahnya. Kedudukan kedua jabatan ini hanya dapat diwariskan kepada anak laki-laki.


Kesultanan Bima
Pada abad XVII Kesultanan Gowa menjalin hubungan kerjasama dengan Kesultanan Bima dengan membawa misi politik dan syiar agama Islam. Disamping terhadap sistem ekonomi dan budaya, pengaruh kerajaan Gowa membawa pengaruh yang cukup besar di bidang politik, terutama sistem kepemimpinan masyarakat dan Kesultanan Bima pada saat itu. Salah satu bentuk pengaruh Kerajaan Gowa dalam sistem pemerintahan itu adalah pergantian istilah Ncuhi. Dalam catatan kitab BO disebutkan pada 1709 Ncuhi di tingkat desa diganti namanya menjadi Gelarang NaE oleh Kesultanan Bima (Tajib, 1992 dan Hitcloct, 1996). Dalam struktur Kesultanan Bima, Gelarang NaE merupakan kedudukan pemerintahan paling bawah setingkat desa yang berada dalam Majelis Sara Sara (Dewan Pemerntahan)

Versi lain menunjukkan bahwa pada saat terjadi perubahan kepemimpinan Ncuhi menjadi  Gelarang NaE, ncuhi masih tetap ada. Dalam perjalanannya, Kesultanan Bima mengintroduksi sistem tata pemerintahan baru sampai ke tingkat pedesaan. Maka pada bersamaan peran ncuhi bergeser hanya mengurusi kegiatan religius dan upacara-upacara adat. Nantinya, juga akan bergeser peran ncuhi pada sistem pengelolaan sumber daya alam, terutama tanah.
Pada pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajudin terjadi perombakan struktur pemerintahan Kerajaan Bima. Dalam struktur kerajaan Bima, di bawah Raja/Sultan terdapat Majelis Paruga Suba atau Dewan Pemerintahan Kesultanan. Majelis ini dibagi dalam tiga majelis, yaitu Majelis Sara Tua (Legislatif dan Judikatif), Majelis Sara Sara (Dewan Pemerintahan), dan Majelis Sara Dana Mbojo (Dewan Keagamaan). Perubahan struktur kelembagaan pemerintahan Kerajaan Bima tersebut untuk mengakomodasi hirarki masyarakat Bima yang waktu itu terbagi dalam 3 kelompok, yaitu masyarakat pemegang teguh kepercayaan asli, pemerintahan kesultanan, dan masyarakat penganut agama Islam.

Agak berbeda dengan struktur pemerintahan Kesultanan Bima yang ditulis Tajib (1992). Di bawah Sultan terdapat Majelis Paruga Suba yang terdiri dari Majelis Tureli atau Majelis Sara, Majelis Hadat atau Majelis Sara Tua, dan Majelis Syar’iyyah. Pembentukan Majelis Syar’iyyah ke dalam struktur pemerintahan Kesultanan Bima memperlihatkan bahwa agama Islam cukup banyak mewarnai kebijakan-kebijakan pemerintahannya.
Dinamika politik Kesultanan Bima yang demikian membawa pengaruh yang cukup besar dalam sistem kepemimpinan di tingkat desa seperti halnya di Sambori. Pada jaman Kerajaan Bima, terdapat beberapa perangkat kelembagaan setingkat desa. Tidak semua desa memiliki perangkat yang sama. Di Sambori terdapat beberapa perangkat desa, diantaranya :
1. Lafalu atau Gelarang NaE (Ompu Tua), yaitu jabatan setingkat kepala desa
2. Ompu Sampela atau Gelarang Muda, yaitu wakil Gelarang NaE.
3. Nenti Rasa, yang berperan sebagai juru tulis desa
4. Panggelasa, yang bertugas sebagai pembantu utama. Panggelasa dipimpin oleh panggelasa tua yang dibantu oleh beberapa anggota. Adapaun tugas-tugas panggelasa adalah sebagai berikut:
  • Menjalankan perintah Lafalu 
  • Selama satu bulan dalam setahun mengabdi di Kesultanan Bima bagian pengambilan air
  • Menyerahkan seekor kerbau dan alang-alang ke Kesultanan Bima pada setiap perayaan hari-hari besar, seperti Idul Fitri, Maulid Nabi Muhammad SAW, dan sebagainya. Persembahan kerbau diambil dari salah seorang warga. Sebagai gantinya pemilik kerbau diberi lahan garapan untuk dikerjakan selama setahun. Tanah garapan ini merupakan tanah desa yang berada di bangga (sawah Ind) sorodadi dan Mambeko.
5. Ncawu yang merupakan pembantu Ompu Sampela
6. Bumi, yang mengurus bidang pertanian
7. Jena, yang bertugas sebagai pesuruh. Misalnya mengundang dalam kegiatan gotong-royong dan membantu piket di kecamatan
8. Punta, yang merupakan pesuruh Ompu Sampela

Meski di bawah pemerintahan Kesultanan Bima, pengangkatan Gelarang NaE tidak diangkat oleh Raja Bima. Gelarang NaE diangkat oleh tokoh-tokoh adat. Keturunan Gelarang NaE tidak secara otomatis dapat menduduki jabatan ayahnya. Hanya orang yang dianggap pantas menduduki jabatan Gelarang NaE. Gelarang NaE yang baru kemudian melaporkan secara langsung kepada Raja Bima, tidak lagi melewati jeneli (camat). Kedudukan Gelarang naE dan Ompu  Sampela didominasi oleh keluarga Tuki. Jabatan pemerintahan lainnya dapat diduduki oleh keturunan keluarga Due. 

Pemerintahan Republik Indonesia
Pada jaman pemerintahan kolonial, belum ada petunjuk adanya perubahan sistem pemerintahan pada tingkat Kesultanan Bima sampai pemerintahan paling bawah. Menurut Pror. Soemardjan (1999) hal ini merupakan strategi yang lazim dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda dalam mempertahankan daerah jajahannya dengan tetap melanggengkan sistem pemerintahan lokal. Sehingga pemerintah Belanda berharap tidak timbul gejolak sosial di daerah jajahannya, terutama sistem pemerintahan kerajaan yang merupakan pusat kekuasaan.

Sistem pemerintahan Bima pada masa Kesultanan masih berlangsung pada masa pemerintahan swapraja. Setelah pemerintahan swapraja bergabung dengan Pemerintahan RI pada tahun 1950-an, terjadi perombakan sistem pemerintahan. Di Desa Sambori jabatan Gelarang NaE digantikan oleh Kepala Desa. Sebagaimana ditegaskan dalam UU Pemerintahan Desa no 5 tahun 1979, pemerintahan Sambori dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dibantu oleh beberapa aparat desa. Di dalam mengatur pemerintahan desa dibantu oleh Lembaga Kemasyarakatan Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). 

Struktur pemerintahan masyarakat adat benar-benar mengalami penggusuran pada masa Pemerintahan RI. Hal ini dipertegas oleh UU Pemerintahan Daerahno 5 tahun 1979 yang mengatur sistem dan struktur pemerintahan samapi tingkat desa. Dikeluarkannya UU ini diyakini sebagi titik awal pemisahan pemerintahan daerah dari adat. Masyarakat adat yang hidup berabad-abad dengan peraturannya sendiri harus mengikuti pemerintahan baru (Soemardjan dalam Pelita Bangsa, 22 maret 1999).



Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger