Analisa ini menguraikan secara jelas perbedaan antara kebudayaan asli dan kebudayaan masyarakat pendatang yang disusun berdasarkan 7 unsur kebudayaan dan masing-masing 3 wujud kebudayaan yang kemudian diuraikan pula dalam bentuk ruang yang dihasilkan. Penguraian kebudayaan asli dan kebudayaan masyarakat pendatang dilakukan dalam 5 fase berdasarkan jenis kebudayaan yang mempengaruhi tiap-tiap fase tersebut.
Fase Ncuhi
Pada masa ini kebudayaan masyarakat Bima umumnya masih sangat sederhana dengan bentuk dan penggunaan ruang yang sedikit dan sederhana pula. Dimana hal yang paling utama dalam hidup adalah mencari lahan untuk berladang dan kegiatan ritual untuk menyembah para leluhur yang walaupun sudah meninggal tapi memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengendalikan kehidupan di dunia. Sehingga penggunaan ruang temporer terlihat lebih dominan dalam kehidupan masyarakat.
Fase ncuhi berakhir pada abad ke-VIII dengan diangkatnya seorang raja (sangaji) dari Jawa yang disebut sebagai Sang Bima.
Fase Kerajaan
Pada fase ini Bima berbentuk kerajaan dengan dipimpin oleh seorang raja yang berasal dari Jawa. Tujuan Jawa ke Bima bersifat ekonomi, yaitu memperluas lahan untuk mencapai kemakmuran. Dalam hal ini pengaruh Jawa membawa perubahan dalam peningkatan pengetahuan dalam bercocok tanam dan dalam pengaturan sistem pemerintahan. Sistem religi memiliki kemiripan kepercayaan dengan masyarakat Bima yaitu animisme dan dinamisme. Sehingga pengaruh Jawa tidak mengakibatkan perubahan yang besar terhadap kebudayaan Bima (khususnya masyarakat Maria) maupun dalam bentuk ruang.
Fase Kerajaan berakhir pada abad ke-17 dengan diangkatnya Abdul Kahir sebagai Sultan pertama Kerajaan Bima.
Fase Kesultanan
Pada abad ke-14, pengaruh Makasar mulai tampak jelas dalam kehidupan masyarakat
Bima dalam sebagian besar unsur kebudayaannya. Hal ini karena adanya pengaruh dari masyarakat Minangkabau-Makasar yang datang ke Bima dengan membawa unsur kebudayaan dan misi yang bersifat keagamaan serta politik.
Fase kesultanan sangat kental dengan pengaruh dari Minang-Makasar. Hampir sebagian besar unsur kebudayaan dan bentuk ruang di
Bima mengalami perubahan yang sifatnya akulturasi. Dalam hal ini termasuk sistem religi, sistem organisasi sosial, sistem bahasa, dan sistem kesenian. Unsur-unsur kebudayaan tersebut memperkaya ruang temporer, namun keberadaan ruang yang bersifat permanen mulai banyak terlihat.
Fase ini masih berlangsung sampai pada abad ke-20 (sekitar tahun 1947) dengan terbentuknya Bima menjadi daerah Swapraja.
Fase Penjajahan
Kerajaan Bima berada di bawah pengaruh kekuasaan Belanda secara resmi terjadi pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1669 dengan diberlakukannya hak monopoli oleh Belanda. Pengaruh penjajah membawah perubahan dalam sistem teknologi dan peralatan hidup seperti pengadaan fasilitas, transportasi, bahan bangunan, dan jalan. Selain itu, pengaruh penjajahan terjadi dalam hal sistem kepemilikan tanah serta pada sistem pengetahuan masyarakat Maria. Pengaruh Belanda membawa pengaruh yang besar terhadap sistem ruang berdasarkan waktu, karena pada fase ini banyak sekali dihasilkan ruang yang bersifat permanen
Fase Sekarang
Pada fase sekarang, Masyarakat di
Bima terdiri dari Dou Mbojo, Dou Donggo, dan masyarakat pendatang yang berasal dari Jawa, Lombok, dan Sumbawa. Pengaruh kebudayaan masyarakat pendatang telah mengalami akumulasi dari beberapa kebudayaan yang sama dengan kebudayaan masyarakat pendatang pada fase-fase sebelumnya. Selain itu, jumlah masyarakat pendatang relatif sedikit dan cenderung bersifat sementara. Juga adanya kesamaan dalam sejarah, yaitu pernah dijajah oleh Belanda dan mengalami penyebaran agama dari Jawa (Agama hindu dan Islam) dan dari Melayu (agama Islam). Ruang permanen maupun ruang temporer yang dihasilkan dari akumulasi dari berbagai kebudayaan yang mengalami interaksi pada fase-fase sebelumnya.
Santabe ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re