Home » , » Sistem Bertani di Bima Era Jaman Naka-Ncuhi

Sistem Bertani di Bima Era Jaman Naka-Ncuhi


Pada jaman Naka masyarakat Bima hidup berpindah-pindah dalam kelompok-kelompok/klan-klan kecil. Mereka berkelompok berdasarkan sistem kekerabatan (geneology). Motifasi utama mereka berpindah-pindah adalah mencari lahan baru utnuk bercocok tanam. Mereka tidak mengenal teritori dan masih bebas membuka ladang berpindah baik di dataran rendah maupun di pegunungan. Sistem mata pencaharian ini berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.
Sistem mata pencaharian ini mulai mengalami perubahan sejak masyarakat Bima mengenal paguyuban dan kepemimpinan ncuhi. Kepemimpinan ncuhi menanadai munculnya kebudayaan waktu itu, terutama sistem pengelolaan sumber daya alam (ITS, 1984). Mereka hidup dalam kesatuan kelompok lebih besar. Di bawah kepemimpinan ncuhi, mereka memiliki wilayah kekuasaan yang dibatasi sungai-sungai, bukit dan gunung. Seiring itu pula mereka memiliki pranata-pranata adat baik yang mengatur sistem sosial budaya maupun sistem penguasaan sumber daya alam. Jika sebelumnya, warga masyarakat secara bebas membuka ladang (oma), warga harus terlebih dahulu meminta ijin kepada ncuhi.

Keberadaan ncuhi membawa sistem penguasaan sumber daya alam di Sambori. Sebagaimana diilustrasikan di atas, ncuhi diyakini sebagai manusia utama, induk muasal dari kita semua untuk kita ikuti arah condongnya, tempat mengharapkan perlindungan atau pengayomannya. Dengan komunitas kecil, ncuhi menjadi tuntunan masyarakatnya didalam mengelola sumber daya alam sekitarnya, terutama penguasaan tanah. Bagi yang akan membuka lahan diharuskan meminta kepada ncuhi. Meraka ini nantinya akan memberikan sebagian hasil produksi pertanian kepada ncuhi.
Tanah memiliki ikatan magis dengan manusia. Di Maria, ikatan magis tersebut ditunjukkan dengan masih membekasnya ungakapan “dana nda’i kamade mori kai” (tanah untuk hidup dan mati). Tanah adalah sebagai sumber kehidupan. Perampasan tanah akan diperjuangkan sasmpai titik darah penghabisan. Hal ini merperlihatkan bahwa tanah memiliki hubungan magis bagi warga masyarakat Sambori.


Pembagian wilayah Sambori dikenal beberapa istilah lokal, yaitu:
Woha’arak
Woha’arak meliputi kawasan hutan yang saat ini disebut masyarakat sebagai hutan negara. Masyarakat setempat tidak mengenal hutan adat, tetapi mereka mengenal hutan yang dikeramatkan, terutama yang terdapat parafu atau makam ncuhi, seperti di bukit Tuki, Jo dan Lambitu.
Parafu merupakan sumber air yang disucikan karena parafu diyakini sebagai tempat bersemayam roh leluhur mereka. Sebutan parafu juga dipakai untuk suatu tempat yang ada makam leluhur yang sekelilingnya terdapat pepohonan. Pepohonan yang terdapat dikelilingi parafu atau makam leluhur dilarang keras ditebang, sekalipun mengambil rantingnya. Mereka meyakini malapetaka akan datang, jika seseorang menebang pohon di sekitar parafu atau di makam leluhur.
Keyakinan pada kesucian parafu juga terlihat dari prosesi adanya upacara Ngaha Ncore (tolak bala). Upacara ngaha ncore merupakan upacara ritual yang dilakukan pada saat terjadi wabah penyakit baik yang dialami manusia maupun hewan peliharaan. Upacara ngaha ncore dipimpin oleh sando (dukun).  Penyelenggaraan upacara ini diawali dengan pengambilan air di tempat-tempat tertentu yang disebut parafu yang berarti pantangan atau yang disucikan. Pengambilan air dilakukan tokoh adat diikuti oleh beberapa orang perempuan sebagai pengiring perempuan. Dalam perjaalanan para tersebut sambil melantunkan lagu ritual disebut “mangge ila”. Pada saat yang sama semua warga masyarakat baik laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak menunggu ditempat yang ditentukan sambil menunggu air parafu dari sumber air. Upacara ini dilakukan 4 hari berturut-turut di setiap sudut kampung. Apabila terjadi wabah yang besar, upacara dilakukan selama lima hari di tengah-tengah kampung.

Setelah mengambil air parafu dan melakukan sesaji, pemimpin upacara memercikkan air parafu ke seluruh warga yang hadir. Upacara Ngaha Ncore ditutup dengan makan nasi bersama yang dibawa dari rumah masing-masing. Makanan yang mereka amkan ini tidak boleh dari makhluk hidup yang berdarah.
Di Woha’arak penduduk melakukan aktifitas berburu dan mencari madu. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan di hutan. Disamping mencari madu dan berburu, mereka mencari kayu bakar, rotan, tanaman obat, dan hasil hutan lainnya. Sesekali waktu mereka menebang pohon untuk membangun uma lengge. Waha’arak juga merupakan tempat pengembala ternak. Penduduk memelihara ternak dengan cara melepaskan di hutan dan di sekitar kampung. Kebiasaan memelihara ternak di hutan masih berlangsung hingga sekarang.

So 
So, yaitu berupa kawasan kegiatan pertanian yang berada di lereng-lereng bukit dan lembah. Biasanya lokasi so merujuk pada nama gunung, misalnya So Lambitu, untuk menunjuk areal perladangan di sekitar punggung Gunung Lambitu. Ada beberapa nama So yang menunjuk pada areal perladangan, seperti So Lambitu, So Ratu, So Tuki, dan So Ibobora. Sebelum mengenal sistem pertanian sawah, masyarakat Sambori melakukan aktifitas agrarisnya di sekitar perbukitan. Mereka menananm tanaman tahunan, palawija dan padi lokal.
Sebelum mengenal sistem pertanian sawah, masyarakat Sambori melakukan aktifitas agrarisnya di sekitar perbukitan. Mereka menanam tanaman tahunan, palawija dan padi lokal. Penduduk mamanfaatkan So untuk Kabore, yaitu lahan pertanian yang ditanami tanaman tahunan seperti nagka, mangga, jambu, dan tanaman lainnya. Di daerah So juga dimanfaatkan sebagai nggaro, yaitu lahan tang ditanami tanaman semusim, terutama palawija.

Bangga
Bangga merupakan lahan persawahan dimana penduduk biasa menanam padi. Pada lahan persawahan tertentu mereka memberi nama, seperti So Ratu, Mambeko, Lena, dan lain-lain. Bangga terletak di lembah-lembah dan ngarai-ngarai yang dapat dijangkau air sungai. Penduduk mengairi sawah dari sungai dengan membuat parit-parit kecil. Di musim kemarau mereka menanami lahan bangga dengan palawija, labu, dan tanaman produktif lainnya. Belakangan mereka juga mengembangkan tanaman bawang putih.

Oma
Oma, yaitu berupa tempat perladangan berpindah yang biasanya dilakukan di daerah So. Pembukaan Oma pertama kali dilakukan secar berkelompok yang didahului dengan kegiatan membersihkan semak dan membakar. Untuk memudahkan pengaturan pengelolaan, mereka memagari Oma dengan tumpukan batu dan memberi nama.
Sebelum merencanakan membuka Oma, mereka meminta ijin kepada Ncuhi. Mereka kemudian berkumpul bersama tokoh-tokoh adat untuk merencanakan Upacara Wea Oha Dana atau Wea Oha Oma untuk meminta keselamatan dari wabah atas tanaman ladang mereka. Sebelumnya mereka mengumpulkan benih secara bersama dan akan dibagikan setelah upacara selesai. Orang yang dianggap dituakan akan memulai penanaman tanaman ladang.
Upacara Wea Oha Dana dipimpin oleh Panggita Oma yang didampingi oleh Ncuhi dan Gelarang NaE beserta pembantunya. Di Sambori ada beberapa Panggita Oma, dan setiap Upacara Wea Oha Dana tidak selalu dipimpin oleh satu Panggita Oma. Pembuka ladang baru akan memilih salah satu Panggita Oma yang dianggap dipercayai untuk melaksanakan Upacara Wea Oha Dana. Ketika menjelang panen tiba, mereka melakukan Upacara Palosa Su’a atau Mara Menta untuk meminta keselamatan pada saat memungut hasil panen.

Sistem pertanian berpindah juga dilakukan oleh masyarakat Sambori, terutama di daerah perbukitan yang tidak terjangkau oleh aliran sungai. Lahan yang telah ditananami beberapa kali akan dibiarkan ditumbuhi tanaman perdu dan dialihkan di lain tempat. Lahan tidur tersebut akan ditanami kembali setelah jangka waktu 4 sampai 5 tahun. Mereka melakukan perladangan berpindah di kawasan So. Utnuk mempermudah batas kepemilikan, mereka memagari lahan dengan tumpukan bebatuan dan menanminya dengan tanaman tertentu.
Merupakan pantangan (pamali) membuka di dekat pemukiman ncuhi dan parafu. Terdapat kepercayaan, tanaman tidak akan tumbuh dengan baik dan tidak akan memetik hasil panen bagi mereka yang membuka ladang di daerah ini. Pada jarak tertentu dari parafu dan pemukiman ncuhi mereka membuka ladang. Pembukaan ladang dilakukan secara berkelompok. Mereka memulai membuka ladang dari atas, kemudian menurun. Setelah melewati 3 atau 5 musim tanam, mereka akan kembali memulai membuka ladang dari atas.




Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger