Pola penggunaan lahan di Maria pada jaman Naka-Ncuhi
merupakan pola penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat asli Bima (yang
disebut sebagai Dou Donggo pada saat ini). Pada masa ini kehidupan masyarakat
berada pada tingkatan yang sangat sederhana, dimana masyarakat hanya memikirkan
kebutuhan primer berupa lahan untuk mencari makanan dan tempat untuk beribadah.
Pada jaman Naka, seluruh wilayah Maria dapat dikatakan
masih berupa lahan tidak terbangun. Penggunaan lahan yang ada hanya berupa
hutan dan bebatuan. Sedangkan lahan terbangun belum ada. Hal ini dimungkinkan
karena pada saat itu masyarakat masih hidup berpindah-pindah sehingga tidak
memungkinkan untuk membangun rumah atau bangunan permanen lainnya untuk
tinggal. Masyarakat tinggal di bawah pohon-pohon dan batu besar atau goa.
Kalaupun dibangun tempat tinggal, bangunan yang dibuat berupa bangunan yang
seadanya yang dibuat dari kayu-kayu dan dedaunan yang ada di hutan. Bangunan ini
mudah diangkat dan dipindahkan oleh masyarakat ketika mencari lahan baru untuk
bercocok tanam (berladang) atau langsung ditinggalkan begitu saja. Setelah
mengenal pola hidup menetap, masyarakat mendirikan uma lengge (ruma
sekaligus lumbung)
Untuk memenuhi kebutuhan akan fasilitas ibadah, sudah
disediakan langsung oleh alam. Fasilitas ibadah dalam hal ini berupa batu-batu
dan pohon-pohon besar, makam leluhur (parafu), matahari, dan benda-benda lain
yang dianggap sakti. Masyarakat tidak membuat sendiri fasilitas ibadahnya.
Fasilitas ini juga berfungsi ganda untuk memohon kesembuhan saat sakit dan
kesusahan seperti musim kemarau yang panjang.
Untuk memenuhi kebutuhan akan air masyarakat pada saat
itupun masih mengandalkan alam berupa mata air, air sungai dan air hujan.
Sehingga penggunaan lahan pada saat itu benar-benar masih mengikuti kehendak
alam.
Berkaitan dengan tanah, masyarakat Maria pada jaman Naka
bebas berladang dimana saja secara nomad tanpa adanya pembatasan. Namun setelah
adanya ncuhi, sudah ada sistem “kepemilikan” tanah walaupun tidak mengenal hak
kepemilikan tanah secara tetap. Dalam hal ini berlaku pemilikan tanah, dimana
semua tanah dikuasai oleh ncuhi. Tanah di wawo dikuasai oleh Ncuhi Parewa. Ia
membagi-bagikannya kepada para bawahannya (termasuk ncuhi di Maria). Ncuhi di
Maria kemudian menunjuk bidang-bidang tanah tertentu kepada setiap para petani
(pemimpin kelompok garis keturunan). Dan sebagai balasannya petani harus
menyerahkan sebagian hasil ladangnya kepada ncuhi.
Tanah dimiliki dengan sistem pewarisan secara turun
temurun. Akan tetapi seseorang tidak dapat melepaskan atau memindahtangankan
atas sebidang tanah tanpa persetujuan ncuhi. Jika terdapat penduduk yang
melanggar ketentuan adat, pindah, atau tidak memerlukan lagi suatu lahan maka
ncuhi mencabut hak orang tersebut atas tanah dan memberikan ijin atau hak baru
kepada orang lain agar dapat menempati lahan tersebut. Selain itu, masyarakat
harus meminta ijin ncuhi dalam pembukaan lahan baru. Hal ini dimaksudkan untuk
memelihara keutuhan tanah pertanian dan mencegah hilangnya tanah pertanian
karena dibagi-bagikan secara terus-menerus dan dilaihkan untuk keperluan lain.
Untuk membedakan antara tanah milik kelompok yang satu
dan lainnya, masyarakat melakukan beberapa cara yaitu dengan menggunakan
batasan fisik berupa lembah dan bukit. Namun dalam suatu wilayah yang luas,
maka pada semua bidang tanah, misalnya hutan belukar, lapangan rumput, dan
hutan lebat di beri nama menurut nama keturunan. Dengan demikian batas yang
digunakan bukan merupakan batasan fisik yang jelas, tapi dilihat dari ciri land
cover nya. Dimana perubahan atau peralihan dari land cover yang satu
dengan land cover yang lainnya mulai kelihatan akan menandakan peralihan
dari daerah kekuasaan kelompok yang satu ke daerah kekuasaan kelompok lainnya.
Tanah memiliki ikatan magis dengan manusia. Di Maria, ikatan magis
tersebut ditunjukkan dengan masih membekasnya ungakapan “dana nda’i kamade mori
kai” (tanah untuk hidup dan mati). Tanah adalah sebagai sumber kehidupan.
Perampasan tanah akan diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Hal ini
merperlihatkan bahwa tanah memiliki hubungan magis bagi warga masyarakat Maria.
Pada akhir masa Ncuhi, masyarakat mulai hidup menetap.
Gubuk-gubuk dijadikan tempat tinggal tetap dan dibuat lebih kokoh. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam beternak dan
berladang secara tetap. Sedangkan dalam pemenuhan kebutuhan akan fasilitas
ibadah dan air masih menggunakan pola lama. Sehingga jaman ncuhi ini disebut
sebagai jaman awal pertumbuhan kebudayaan Bima.
Pembagian dalam penggunaan lahan tidak terbangun pada
masa ini meliputi [1]
:
a. Woha’arak.
Woha’arak meliputi kawasan hutan yang saat ini disebut
masyarakat sebagai hutan negara. Masyarakat setempat mengenal hutan yang dikeramatkan,
terutama yang terdapat parafu atau makam ncuhi.
Parafu merupakan sumber air yang disucikan karena parafu
diyakini sebagai tempat bersemayam roh leluhur mereka. Sebutan parafu juga
dipakai untuk suatu tempat yang ada makam leluhur yang sekelilingnya terdapat
pepohonan. Pepohonan yang terdapat dikelilingi parafu atau makam leluhur
dilarang keras ditebang, sekalipun mengambil rantingnya. Mereka meyakini
malapetaka akan datang, jika seseorang menebang pohon di sekitar parafu atau di
makam leluhur.
b. So, yaitu
berupa kawasan kegiatan pertanian yang berada di lereng-lereng bukit dan
lembah.
c. Oma, yaitu berupa tempat perladangan berpindah
yang biasanya dilakukan di daerah So.
d. Beternak
Kegiatan beternak dilakukan di hutan dengan cara
melepaskan hewan ternak secara bebas di hutan. Hewan ternak biasanya adalah
sapi, kerbau, kambing dan kuda. Selain kuda, hewan-hewan lainnya akan
di”panggil” oleh pemiliknya bila ada kegiatan yang berkaitan dengan persembahan
untuk upacara adat dan untuk acara menikah. Selain peternakan di hutan juga di
kenal “prangga” yaitu ternak diikat di bawah pohon besar di daerah bantaran
sungai.
No
|
Variabel
|
Penggunaan
|
Tempat /lokasi
|
1.
|
Fasilitas ibadah
|
Lapangan dan batu besar yang licin
Pohon-pohon besar dan Mata air
|
di depan rumah ncuhi
Gunung dan hutan
Mengikuti tempat berladang dan berburu
|
2.
|
Tempat tinggal
|
Uma lige
|
Di daerah sekitar bukit (bebas)
|
3.
|
Peternakan
|
Fase 1
Tidak ada
Fase 2
Prangga
|
Diikat dibawah pohon besar dekat daerah bantaran sungai
dan di lepas secara bebas di hutan
Bebas (di sekitar bukit)
|
4.
|
Ruang bersama
·Keluarga
inti (private)
·Kerabat
(semi private)
· Umum
(publik)
|
Uma lige, uma lengge dan kawasan berladang kelompok.
Ladang
Parafu
Parafu
|
Lereng bukit dan lembah
Hutan dan gunung
Hutan dan gunung
Bebas (terpisah dari parafu)
|
5.
|
Kuburan
· Ncuhi
· Rakyat
biasa
|
Kuburan
Ladang berpindah/oma
Ladang tetap/so
|
Lereng bukit dan lembah
Lereng bukit dan lembah
Hutan
Berlaku untuk semua aktifitas mencari makanan
adalah tidak boleh menggunakan lokasi
pemukiman ncuhi dan parafu.
|
6.
|
Tempat mencari makanan
|
Berburu, meramu dan mencari tanaman obat-obatan
|
Seijin ncuhi (relatif)
Seluruh wilayah
|
7.
|
Tanah
Hak atas tanah
· Perorangan
· Ncuhi
·Batasan
tanah kekuasaan
· Fisik
· nama
keturunan
· Land
cover
|
Ladang (relatif)
Seluruh wilayah
Bersifat cosmologis yaitu dengan batasan doro
(bukit/gunung) dan wela (lembah)
Keturunan : Londo dou ……..(nama binatang). Londo
dou artinya keturunan dari… . berlaku untuk wilayah dibawah kekuasaan ncuhi
kecil
Daerah-daerah peralihan dari berbagai bentuk land
cover seperti hutan lebat,
|
Menurut lembah
dan bukit (biasanya menandai daerah kekuasaan ncuhi)
Gunung dan lembah : Parewa, Dara, Dorowoni, dan
lain-lain
Menumpuk batu, memasang kayu, atau menanami pohon
lokasi yang menjadi “tanah milik”
Berdasarkan land cover dan batasan fisik.
Menurut bentuk land cover. Dalam wilayah
kekuasaan tanah pertanian yang lebih kecil dari kekuasaan ncuhi biasanya juga
ditandai dengan sungai yang ada sebagai land mark
|
[1] Dwi Sudarsono Dkk, Dari Pelestarian Hingga
Pembusukan, Yayasan Koslata dan INPI-Pack, tahun 1999, hal 65-67
Santabe ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re