Home » , , » Mengenal Pola Rumah Adat Masyarakat Bima

Mengenal Pola Rumah Adat Masyarakat Bima


Ditinjau dari segi pendirian rumah, dalam pengukuran dan penyelenggaraan/pembangunan rumah, rumah-rumah masyarakat di Maria tidak mengalami perubahan yang berarti. Namun dalam hal konstruksi ada beberapa perubahan yaitu penggantian bubungan dari tanduk binatang akibat adanya kepercayaan animisme dan dinamisme menjadi kayu yang berbentuk seperti tanduk. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Islam yang melarang memepercayai kekuataan lain selain dari keuasaan Allah yang Esa (satu). Hal ini menyebabkan makna dari bubungan tersebut tidak lagi menjadi hal penting yang harus disembah tapi hanya sebagai pertanda atau hiasan saja yang mencirikan rumah Bima. 

Bentuk atap pelana merupakan pengaruh budaya Minagkabau (Sumatera Barat) yang telah mengalami pembauran dengan orang Makasar/Goa. Menurut beberapa buku bentuk pelana atau perahu ini merupakan lambang budaya perahu (berlayar) yang biasanya terdapat dibagian timur Indonesia seperti Manggarai (Flores) maupun Gowa. Selain itu  konstruksi bangunan menggunakan sistem pa-a sekolo yang dibawa oleh orang Gowa berupa teknik memaku tiang/menyatukan tiang dengan memasukkan tiang-tiang mendatar pada tiang-tiang vertikal. Konstruksi ini menghasilkan perubahan pada jumlah ruang bangunan. Sehingga kolong rumah terdiri dari kolong di atas balok-balok penguat konstruksi pa-a sekolo dan kolong di bawah balok-balok pa-a sekolo. Pada kolong tersebut, di atas balok-balok konstruksi pa-a, sering disimpan balok-balok persediaan bahan bangunan serta alat pemroses beras. Selain itu, dibuat serambi disekeliling rumah terutama bagian depan dan belakang rumah.

Setelah adanya pengaruh bangsawan, ciri-ciri rumah adalah rumah tinggal menggunakan ruang atap sebagai “tempat tinggal tambahan” disamping tempat tinggal utamanya yang menempati bagian badan. Tempat tinggal tambahan tersebut digunakan sebagai tempat tinggal putri-putri raja atau bangsawan.
Tahap selanjutnya, lumbung pindah ke tempat lain yang berdiri sendiri terpisah dari bangunan tempat tinggal namun masih dalam satu pekarangan/satu lokasi dengan rumah tinggal. Jadi ruang atap tidak lagi digunakan untuk menyimpan padi, tidak berfungsi sebagai lumbung. Ruang atap digunakan sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian.
Pemisahan ini berkaitan dengan kebutuhan ruang yang semakin kompleks, jumlah anggota keluarga yang semakin banyak sehingga kapasitasnya tidak sesuai dengan ruang uma lengge, dan peningkatan perekonomian serta pola pikir masyarakat. Selain itu, rumah dibangun dengan mendirikan dua tangga, tangga depan untuk kaum laki-laki dan tangga belakang (dapur) untuk kaum perempuan.

Selain lengge,  terdapat suatu bentuk bangunan yang dinamakan jompa yang memiliki fungsi yang sama namun berbeda bentuk dengan lengge. Jompa merupakan bangunan rumah yang mengalami alih fungsi sebagai lumbung.
Pada perkembangan selanjutnya lengge meggunakan konstruksi ceko, dan ada yang tetap menggunakan pa-a sekolo dan jompa menggunakan konstruksi pa’a sekolo. Sedangkan untuk rumah tinggal pada umumnya sudah berubah menjadi rumah dengan konstruksi ceko walaupun masih ada juga beberapa rumah yang menggunakan konstruksi pa’a sekolo. 
Dalam hal jumlah tiang, tiang lengge dan jompa tetap empat sedangkan tiang rumah tinggal berkembang dari empat tiang menjadi enam, sembilan, dua belas dan enam belas tiang sesuai dengan status sosial dan tingkat ekonomi serta kebutuhan ruang. Semakin banyak tiang suatu rumah, maka semakin tinggi tingkat status ekonomi dan status sosial pemiliknya. Ke arah vertikal, bangunan memiliki susunan yang sama yaitu bagian atap, bagian badan, dan bagian kolong. 
1.  Rumah 4 tiang- uma lengge (rumah sekaligus lumbung) 
  • Rumah ini dimiliki oleh masyarakat biasa.
  • Ke arah vertikal bagian atap untuk lumbung, bagian badan untuk tempat tidur dan berkumpul dengan keluarga dan bagian kolong untuk bekerja (misalnya menenun), pertemuan, dan upacara adat.
  • Kemudian mengalami transformasi menjadi rumah tinggal dan lumbung (lengge) yang saling terpisah tetapi letaknya masih dalam satu pekarangan dengan rumah tinggal. Kemudian rumah empat tiang berkembang menjadi rumah enam tiang dan seterusnya, sedangkan rumah empat tiang beralih fungsi menjadi lumbung berbentuk persegi panjang (jompa) 
  • Ke arah horizontal, badan bangunan hanya memiliki satu ruangan untuk berbagai aktifitas.
2. Rumah 6 tiang
  • Rumah dimiliki oleh masyarakat biasa
  • Lengge-lengge dan jompa-jompa masyarakat diletakkan secara mengelompok pada kawasan yang jauh dari pemukiman penduduk
  • Ke arah vertikal bagian atap digunakan untuk tempat menyimpan peralatan pertanian dan peralatan lainnya, bagian badan tidak lagi terdiri dari satu ruangan tapi sudah memiliki 2 ruangan yang digunakan untuk tempat tidur, berkumpul dengan keluarga, dan pertemuan/bertamu. Bagian kolong untuk bekerja (misalnya menenun), pertemuan, dan upacara adat. Bagian kolong ada juga yang dipagar keliling dan digunakan untuk beternak unggas dan sebagai gudang penyimpanan barang.
  • Ke arah horizontal, bagian badan bangunan sudah memiliki 2 ruangan, yaitu ruangan tamu dan dapur
3. Rumah 9 tiang
  • Rumah dimiliki oleh golongan Dari atau kelompok ahli
  • Ke arah vertikal jumlah dan fungsi ruang sama dengan rumah 6 tiang
  • Ke arah horizontal, pada badan bangunan terdiri dari 4 ruangan, yang terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, ruang dapur, dan ruang tidur.
4. Rumah 12 tiang
  • Rumah dimiliki oleh golongan keturunan bangsawan, pejabat kerajaan, dan kepala adat/gelarang
  • Ke arah vertikal jumlah dan fungsi ruang sama dengan rumah 6 tiang
  • Ke arah horizontal, pada badan bangunan terdiri dari 6 ruangan yang terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, ruang dapur, dan ruang tidur dan 2 ruangan tambahan lainnya
5. Rumah 16 Tiang
  • Rumah dimiliki oleh keturunan bangsawan saja
  • Ke arah vertikal jumlah dan fungsi ruang sama dengan rumah 6 tiang
  • Ke arah horizontal, pada badan bangunan terdiri dari 8 ruangan yang terdiri dari ruang tamu, ruang tengah, ruang dapur, dan ruang tidur dan 4 ruangan tambahan lainnya.
Masyarakat yang membangun rumah yang jumlah tiangnya tidak sesuai dengan status sosialnya, maka rumah tersebut akan diambil oleh pihak kesultanan.
Pengaruh agama Islam yang dipeluk oleh masyarakat Bima juga menyebabkan adanya penambahan bangunan yang berkaitan dengan kebutuhan dalam beribadah tersebut. Mesjid-mesjid  dan musholla pun banyak dibangun dengan bentuk konstruksi kayu dan beratap tumpang, sebagaimana lazimnya mesjid-mesjid di nusantara. Selain itu disetiap rumah adanya bangunan tempat berwudhu yaitu padasa di dekat pintu masuk rumah.

Santabe ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso


Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page

Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger