Home » , , » Karakteristik Bangunan Masyarakat Wawo Maria

Karakteristik Bangunan Masyarakat Wawo Maria


Dalam hal bangunan mereka hanya mengenal dua macam, yaitu bangunan tempat berlindung dan bangunan ibadah. Untuk tempat berlindung, mereka membangun gubuk-gubuk sederhana yang dapat ditinggalkan sewaktu-waktu ketika akan mencari lahan baru untuk berladang yang disebut uma lige. Mereka juga memanfaatkan alam untuk berlindung. Dalam hal ini pohon-pohon besar dan batu-batu besar dijadikan tempat untuk tinggal selama proses mencari bahan makanan. Rumah ncuhi dan tokoh adat lainnya seperti sando dan panggita atau pamali dapat sekaligus dijadikan sebagai tempat pertemuan. Bangunan untuk ibadah merupakan bangunan yang dibuat oleh alam berupa pohon-pohon besar, mata air, dan batu besar yang licin.

Selain itu, masyarakat Maria sudah mulai memikirkan untuk hidup menetap membangun rumah-rumah atau gubuk sederhana yang disebut uma lengge dan membentuk suatu perkampungan yang terdiri dari kelompok-kelompok keluarga. Dalam pendirian bangunan secara menetap ini, maka muncul suatu profesi yaitu panggita yang menjadi pemimpin upacara pendirian rumah dan bertanggungjawab terhadap pendirian rumah tersebut.

Di kompleks hunian Ncuhi, dibangun rumah bertiang empat dengan dinding yang terbuat dari kulit kayu disamping rumah ncuhi itu sendiri. Rumah panggung ini berada di tengah kompleks dan menghadap sebuah pelataran terbuka. Pada pelataran ini terdapatlah sebuah batu yang sangat besar yang hanya terlihat bagian permukaannya saja, dan disinilah letak dari upacara adat. Pengadaan upacara yang berlangsung pada titik di depan rumah ncuhi erat sekali dengan kedudukan ncuhi itu sendiri sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat. Batu serupa juga ditemukan di tempat pemimpin garis keturunan namun tidak sebesar dan sekeramat di rumah ncuhi. selain itu, pada tepat pemimpin garis keturunan ini tidak terdapat lapangan yang luas.

Sistem konstruksi bangunan uma lengge berkesan mudah dilepas dan dipasang kembali. Pedoman utama dalam cara-cara membangun adalah menumpang, mengapit, menembus dan dikunci dengan pasak (wola). Bahan bangunan yang paling utama adalah kayu dan bambu yang ditebang langsung di hutan. Jenis kayu yang digunakan biasanya kayu randu, nangka, jati dan lain-lain. Bagian dinding bangunan terbuat dari kayu papan atau bambu. Atap terbuat dari alang-alang dan lantai terbuat dari papan. Masing-masing pintu ini dihubungkan dengan tanah dengan menggunakan tangga yang jumlah anak tangganya biasanya ganjil.

Bentuk rumah pada umumnya adalah berbentuk panggung empat persegi panjang dengan jumlah tiang empat buah terbuat dari kayu berbentuk persegi panjang. Rumah yang dibangun merupakan rumah-lumbung yaitu rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus lumbung. Dengan menggunakan konstruksi pa’a ceko (teknik memaku tiang bangunan dengan bentuk V. Dalam bahasa Bima ceko = silang), yang merupakan konstruksi asli dari Bima.
Bagian-bagian bangunan, ke arah vertikal rumah dibagi mejadi dua bagian, yaitu bagian atap dan bagian kaki. Bagian atap terdiri dari dua bagian, yaitu bagian rumah tinggal merupakan ruang utama berukuran 4 X 4 m yang dipakai untuk tempat tidur sekaligus dapur. dan bagian lumbung yang letaknya di atas rumah tinggal merupakan lumbung untuk penyimpanan padi dan hasil bumi lainnya. Bagian kaki terdiri dari ruang terbuka digunakan sebagai tempat duduk dan memiliki fungsi sosial, seperti untuk upacara-upacara adat, berinteraksi dengan tetangga  atau bercengkerama dengan anggota keluarga serta  untuk menerima tamu. 

Ruang atap yang tertutup dengan daun rumbia/ alang-alang merupakan ruangan yang hangat pada waktu malam hari, sehingga ruang atap ini sangat cocok digunakan sebagai ruang tidur untuk daerah yang berhawa dingin. Pada waktu siang hari yang panas, orang tinggal di luar atau di ruang bawah yang terbuka atau pergi ke sawah/ ladang. Selain itu, untuk menghubungkan dengan rumah tetangga dibuat 2 lawang. Sehingga rumah ini memiliki tempat untuk ruang bersama dalam arti tempat lewatnya tetangga/sirkulasi.
Sebelum adanya pendirian rumah, kelompok masyarakat berdasarkan pertalian darah melakukan perjalanan ke dalam hutan untuk mencari bahan bangunan. Setelah bahan bangunan terkumpul, maka dilakukan upacara pendirian bangunan. 
Proses membangun yang terjadi di kalangan masyarakat Maria adalah :
  1. Tahap pertama yang dilakukan oleh yang berniat membangun rumah adalah bertemu dengan panggita dan mengemukakan kehendaknya untuk membagun rumah tinggal. Pada tahap ini akan menetapkan langkah-langkah dan tahap-tahap lanjutan atas dasar maksud dan tujuan yang dipunyai oleh pemilik niat tadi. Langkah dan tahap ini akan bersifat rutin dan sudah tentu tujuan/maksudnya adalah demi kesejahteraan, bukan dengan maksud/tujuan agar di kemudian hari bangunan tersebut mampu mendatangkan kekayaan. Bila maksud terakhir yang dipilih si pemilik niat, panggita akan menyampaikan sejumlah keharusan yang harus dilaksanakan oleh si pemilik niat. Keharusan ini meliputi mulai dari melakukan doa khusus hingga membuat sesaji/selamatan tertentu.
  2. Pada tahap ini inisiatif aktif berada pada pihak panggita karena di dalam tahap ini berlangsungnya perhitungan dalam menentukan saat terbaik kegiatan mendirikan bangunan tersebut berlangsung. Perhitungan yang dilakukan meliputi ; Menentukan hari baik, perhitungan yang didasarkan pada dana, afi, oi, dan angi (makna ini dikaitkan dengan hari-hari dalam kalender adalah : hari sabtu – dana, hari minggu – afi, hari senin – oi, dan hari selasa – angi). Hari baik untuk mendirikan rumah tidak boleh bertepatan dengan hari lahir suami atau isteri pemilik niat dan hari baik itu hendaknya jatuh pada hitungan dana. 
  3. Tahap ini baru berlangsung setelah segenap kayu yang dipergunakan untuk membangun, telah terkumpul. Sebelum semua kayu dipergunakan menjadi unsur-unsur bangunan, Tahap dilakukan upacara doa dan selamatan. Kegiatan ini dilangsungkan di malam hari sebelum/menjelang hari mengerjakan kayu ini berlangsung. Pada tahap ini kelengkapan sesajian/selamatan memiliki banyak kesamaan dengan kelengkapan yang terdapat dalam upacara yang menandai tahap-tahap daur hidup seseorang seperti pada saat mengandung, atau perkawinan yaitu priuk beisi air, benang, dan kapas. Selain itu, dikenal “nggetanggapi” yang artinya adalah mengawinkan kayu. Pada upacara ini ditentukan pula kayu yang dipilih sebagai tiang utama bangunan dimana penentuannya didasarkan pada nyala lilin yang paling lama menyala pada kayu-kayu yang tersedia pada upacara tadi. Mengingat bahwa tiang melambangkan api, bisa jadi nyala lilin ini punya kaitan perlambangan yang berkaitan dengan dasar hidup manusia. 
  4. Tahapan kegiatan penyelenggaraan pembangunan dan perakitan.

Proses pendirian rumah, termasuk perhitungannya sama seperti pada pendirian uma lige. Tahap penyelenggaraan pembangunan dan perakitan berlangsung dengan urutan langkah dan kegiatan sebagai berikut : langkah pertama yang dilakukan adalah mendirikan tiang utama yang dipimpin oleh Panggita. Setelah tiang utama didirikan langkah selanjutnya mendirikan kerangka (tiang) bangunan. Dilanjutken dengan memasangkan umpak pada tiang. Setelah semua langkah diatas dilakukan, pendirian diarahkan pada bagian-bagian rumah yang dimulai dari membuat dan menyetel atap, membuat dan menyetel dinding, membuat dan menyetel lantai. Dan sebagai langkah terakhir membuat dan menyetel tangga tersebut. Dengan dipasangnya tangga ini, secara teknis rumah sudah dapat ditempati. Namun secara ritual masih dilakukan upacara penaikan pemilik rumah yang didahului oleh pemilik perempuan kemudian yang laki-laki.

Ukuran-ukuran yang digunakan dalam pendirian rumah menggunakan ukuran tubuh manusia. Dalam hal ini, semua ukuran dalam rumah yang meliputi panjang, lebar, dan tinggi disesuaikan dengan ukuran tubuh manusia. Adapun istilah-istilah pengukuran yang digunakan adalah :
• Salona ancu = dari ketiak sampai ujung jari tangan
• Satatu’u = setinggi lutut
• Sasalongi = setinggi pangkal paha/setinggi orang berdiri
• Sasingku = sesiku/sehasta
• Sa’api = setinggi ketiak
• Satundu = setinggi bahu
• Sekampidi = setinggi dahi

Dalam penentuan unsur-unsur mendatar (horizontal) dan menegak (vertikal) dari balok dan tiang menggunakan istilah wela  dan doro.Wela memiliki arti lereng atau lahan/tanah yang berkemiringan landai. Wela dipakai untuk bagian-bagian memanjang dari bagunan. Untuk doro artinya adalah gunung, dipergunakan untuk bagian-bagian memendek dari bangunan.

Berdasarkan pengetahuan masyarakat Maria, maka  urut-urutan langkah penyelenggaraan bangunan tersebut akan dikaitkan dengan alam sekitarnya, melaui keterhubungan perlambangan sebagai berikut :
• Tiang melambangkan afi (api)
• Atap melambangkan oi (air)
• Dinding melambangkan  angi (angin)
• Lantai melambangkan dana (tanah)

Dalam hal ini api, air, angin dan tanah adalah unsur-unsur universal yang dalam masyarakat tradisional dikenal sebagai nama unsur-unsur kehidupan, maka hadirnya unsur-unsur ini sebagai pelambang di Bima akan memperkuat pandangan hidup tentang rumah dikalangan masyarakat tradisional ini, dimana rumah dianggap sebagai suatu yang hidup
Perlengkapan dalam upacara yang berkaitan dengan proses membangun  berupa sebuah periuk tanah yang berisi air, benang, kapas berwarna putih yang diikatkan pada leher periuk tadi, serta lilin yang bernyala. Adanya unsur tanah (pada periuk) serta unsur api (pada nyala lilin) adalah lambang-lambang yang berkaitan dengan kehidupan.

Santabe ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso


Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page

Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger