Home » , » Etnotourisme Di Desa Sambori Oleh: M. Taufiqurrahman

Etnotourisme Di Desa Sambori Oleh: M. Taufiqurrahman


Optimalisasi Etnotourisme Di Desa Sambori - Kabupaten Bima
Oleh M. Taufiqurrahman

Sepanjang lima dasawarsa terakhir industri pariwisata semakin mengemuka seiring dengan kesuksesan industri ini dalam menyumbang bagi pendapatan perekonomian. Gairah pengembagan industri pariwisata bukan saja didominasi oleh negara-negara dunia ketiga yang membutuhkan suntikan pendapatan negara, akan tetapi juga bagi megara-negara maju, Amerika dan eropa Barat. Tidak mengherankan industri pariwisata menyumbangkan 10% dari pendapatan industri perdagangan dunia.

Bagi banyak negara-negara dunia ketiga dan negara-negara Eropa Timur yang baru menjadi negara demokrasi tetapi masih dalam keadaan miskin, turisme dan etnotourisme khususnya, dipandang sebagai cara untuk mempercepat usaha pengembangan ekonomi.  Pada tahun 1991, turisme dinegara-negara yang sedang berkembang menghasilkan $312 miliar, nomor dua setelah pendapatan dari migas (1).  Sebagai penyumbang bagi ekonomi global, turisme tidak ada tandingannya. Lihat deskripsi berikut ;
  • Turisme mempekerjakan 204 juta orang diseluruh dunia, atau satu dari tiap sembilan pekerja, 10,6 % dari angkatan kerja global.
  • Turisme dalah penyumbang ekonomi terkemuka didunia, menghasilkan 10,2 % produk nasional bruto dunia.
  • Turisme adalah produsen terkemuka untuk pendapatan pajak sebesar $655 miliar.
  • Turisme adalah industri terbesar disunia dalam hal keluaran bruto, mendekati $3,4 triliun.
  • Turisme merupakan 10,9 % dari semua belanja konsumen, 10,7 % dari semua investasi modal dan 6,9 % dari semua belanja pemerintah. 
Kabupaten Bima merupakan salah satu jalur lintas pariwisata di Indonesia (wilayah timur khususnya), dimana wisatawan asing yang dari Lombok atau Bali hendak meneruskan perjalanan wisatanya ke Pulau Komodo atau ke tempat wisata lainnya, atau sebaliknya Namun fenomena yang terjadi, pelancong atau turis tersebut hanya tinggal hanya satu atau dua hari saja di Bima, bahkan ada yang langsung meneruskan perjalananya ke tujuan wisata. Jumlah Wisatawan yang berkunjung ke Bima per bulannya adalah sangat minim sekali yaitu wisatawan domestik rata-rata 3.993 orang per bulannya, yang puncak tertingginya pada bulan Agustus dan terendahnya pada bulan November yaitu rata-rata 1493 orang, sedangkan untuk wisatawan mancanegara, rata-rata 147 orang perbulannya kunjungan puncak pada bulan Oktober yaitu 254 orang, dan terendah pada bulan Desember yaitu 71 orang. Total rata-rata kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik adalah kurang lebih 4140 orang tiap bulannya. Sangat jauh sekali dengan jumlah wisatawan yang berkunjung di Lombok atau Komodi yang mencapai ratusan ribu wisatawan tisap bulannya. Hal ini terjadi karena daya tawar (promosi) pariwisata yang sangat kurang dari Kabupaten Bima itu sendiri, Kurangnya penyelenggaraan festival atau kegiatan budaya (tari-taran, upacara dll), yang merupakan salah satu primadona pariwisata yang sekarang sedang di minati oleh wisatawan, baik local maupun mancanegara. Wisatawan bahkan tidak mengenal dan mengetahui obyek pariwisata di Kabupaten Bima karena kurangnya promosi tersebut. Disamping promosi yang kurang, juga data tarik atau kemasan yang tidak menarik wisatawan untuk berkunjung.

Wisata yang sangat tepat untuk dijual di Bima pada umumnya adalah ekotourisme (wisata alam) dan etnotourisme (wisata budaya). Potensi wisata khususnya wisata adat/budaya di Bima layak untuk dijual dalam kemasan etnowisata sangat banyak meliputi upacara keagamaan, upacara adat, tari-tarian, nyanyian, bangunan dan sistem tata bangunanya. Namun persoalan atau fenomena yang menucul adalah, wisatawan yang ada di Bima pada umumnya atau kebanyakan adalah wisatawan transit, artinya wisatawan tersebut singgah ke Bima untuk meneruskan perjalanan wisatanya ke tempat wisata tujuannya atau bukan wisatawan kunjung. Hal ini terjadi karena kurang maksimalnya atau kuantitas pelaksanaan kegiatan kebudayaan di Bima sangat minim sekali, festival budaya yang dulu sering dilaksanakan sekarang mulai berkurang. Masyarakat mulai terkontaminasi pola kehidupan modernisme, sehingga pola tradisional/etnik mulai memudar bahkan sudah ada yang ditinggalkan.

Lihat Desa Sambori di peta yang lebih besar
Hambatan yang terjadi di Desa Sambori yang menurangi nilai-nilai kebudayaan antara lain :
  1. Obyek obyek wisata di Desa Sambori belum maksimal atau belum sama sekali dikembangkan, hal ini terjadi karena obyek-obyek wisata tersebut belum banyak yang tahu dan belum disadari dapat dijual dalam paket wisata budaya (etnotourisme).
  2. Arsitektur dan pola ruang di desa Sambori mulai terkontaminasi oleh unsur modern, bangunan yang dulu mempunyai ciri khas mulai punah dan bahkan hilang, Sehingga nuansa Etnis Sambori tidak terlalu kental.
  3. Saling tumpah tindihnya pelaksanaan kegiatan wisata sehingga wisatawan tidak dapt menikmati seutuhnya obyek wisata yang berada di Desa Sambori.
  4. Dengan adanya anggapan, bahwa kota lebih menunjang untuk masa depan, maka pola mata pencaharian dan aktivitas masyarakat banyak terkonsentrasi ke kota dan hal tersebut dapat mempengaruhi pola hidup dan karakter masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat desa Sambori.  
  5. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata belum maksimal, dalam kegiatan etnotourisme masyarakat bukan hanya sebagai obyek namun juga sebagai subyek. Dimana masyarakatlah yang mempunyai peranan yang sangat krusial atau penting.
  6. Keaslian pola ruang Desa Sambori mulai memudar dan ditinggalkan, sehingga wisatawan tidak merasakan nuansa yang benar benar asli Desa Sambori.  
  7. Aksesbilitas dan promosi yang belum memadai (belum maksimal).
Suku Bima atau Mbojo adalah salah satu suku yang dulunya besar peradaban dan eksistensinya di Indonesia dan merupakan salah satu etnis tertua di Indonesia, dimana masa-masa keemasannya sangat tergambar jelas pada barang-barang peninggalan sejarahnya. Dan buku-buku sejarah yang masih tersimpan sampai sekarang. Dan masyarakat Bima memiliki budaya dan adat yang kuat yang dapat ditawarkan untuk sektor pariwisata dan untuk tetap menjaga kelestarian budaya Bima tersebut. Dengan memanfaatkan lintas pariwisata tersebut, dapat dimanfaatkan untuk menawarkan produk pariwisata yang ada di Kabupaten Bima. Di antara pariwisata itu ada yang kemudian secara khusus menjual keindahan lingkungan alam dan keunikan dan kekayaan budaya kepada para wisatawan. Kegiatannya diiklankan sebagai Etnotourism. Para peminat tidak hanya disuguhi dengan pertunjukan tari-tarian dan acara kebudayaan penduduk setempat, tetapi alam indah yang mempesona, seperti air terjun, lembah sungai, panorama pegunungan yang sejuk udaranya. Mereka dipersilahkan tinggal di tengah alam itu dan bergaul dengan penduduk setempat selama beberapa hari. Tidak sekadar datang, makan-makan, meninggalkan sampah, kemudian pergi.
Etnowisata semacam ini mendorong perekonomian rakyat di daerah yang bersangkutan dengan pemberian jasa pelayanan untuk menikmati keindahan alam dan budaya, sekaligus mengajak masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan. 

Etnotourism tidak hanya perlu memberikan fasilitas pada wisatawan untuk menikmati pemandangan alam yang indah dari kejauhan, tetapi juga kesempatan seluas-luasnya untuk tinggal (menginap dan hidup) nyaman di tengah lingkungan yang indah itu untuk sementara waktu, agar memperoleh kesan yang mendalam tentang lingkungan setempat, tentunya lingkungan yang bersih. Peminat etnowisata tidak menuntut fasilitas penginapan yang mewah, makanan enak, dan hiburan malam. Mereka lebih senang ditawari penginapan di rumah penduduk (homestay), dan ingin mencicipi makanan tradisional asli daerah setempat bersama pemilik rumah.
Kurangnya promosi juga membuat usaha etnowisata itu macet. Lebih masuk akal membantu mereka dengan modal untuk promosi dan perbaikan lingkungan, daripada menginvestasikan modal ke pembangunan hotel dan restoran bertaraf internasional tetapi sewanya tidak terjangkau oleh wisatawan yang ingin hidup hemat agar bisa tinggal selama mungkin di lingkungan yang nyaman, dan tidak menjengkelkan dan juga karena fenomena wisatawan sekarang adalah mereka sangat ingin mengenal dan merasakan bagaimana kultural masyarakat dan satu-satunya cara yang masuk akal adalah dengan ikut bergaul dan tinggal bersama masyarakat setempat bahkan mereka sudah bosan tinggal di hotel-hotel berbintang dimana fasilitas dapat mereka peroleh dengan mudah. Mereka lebih menyenangi sebuah suasana petualangan, dengan suasana yang sangat natural.

Kebudayaan Bima adalah kebudayan yang karakteristiknya bermacam-macam, tiap desa memiliki karakteristik yang berbeda beda baik pola hidup sampai pada dialek bahkan bahasanya. Kemudian masuk pula macam macam kebudayaan lain, seperti Kebudayaan Makasar, Lombok, Sampai pada kebudayaan asing (Belanda dan Jepang). Kemudian seiring dengan perkembangan jaman dan peradaban, maka kini budaya-budaya tersebut sangat menarik perhatian kaum pelancong/wiatawan untuk menikmati keunikan-keunikan terbebut, dan hal tersebut sangat berpotensi untuk dijual dalam kemasan etnowisata. Dan untuk mempertahankan keaslian budaya tersebut maka harus terus dipertahankan dan dikembangkan budaya budaya asli tersebut di jual dalam paket etnowisata tersebut. Namun hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah namun tidak mustahil untuk dilaksanakan. Seiring dengan itu terdapat permasalahan yang harus dicari solusinya bagi perkembangan etnowisata untuk menambah devisa dan pendapatan asli daerah di masa transisi otonomi daerah ini, dan permasalahan tersebut adalah antara lain :
  1. Bagaimana menetapkan obyek wisata yang dapat di kembangkan dalam kegiatan etnotourisme di Desa Sambori. 
  2. Bagaimana mencitakan suasana etnis yang khas di Desa Sambori.
  3. Bagaimana mendistribusikan masing-masing kegiatan wisata agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan wisata.
  4. Keaslian pola aktivitas masyarakat mulai hilang. Bagaimana agar pola kativitas maupun pola ruang di Desa Sambori berdasarkan kebudayaan asli desa agar dapat mencipatakan keaslian nuansa Desa Sambori.
  5. Dalam pelaksanaan kegiatan etonotourime masyarakat adalah selain sebagai obyek, masyarakat juga sebagai subyek dari kegiatan tersebut. Bagaimana kedudukan masyarakat Desa Sambori dalam pelaksanaan etnotourisme.
  6. Bagaiman pola tapak yang mencerminkan etnik/adat masyarakat Desa Sambori sehingga dapat menerangkan kepada wisatawan tentang jati diri masryarakat Desa Sambori.
Sasaran yang ingin dicapai dalam optimalisasi etnotourisme tersebut adalah dengan mengidentifikasi komponen, aspek-aspek atau inventarisasi potensi etnotourisme di desa sambori Kabupaten Bima. Dan potensi tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Identifikasi potensi wisata adat (budaya) di Desa Sambori yang dapat dikembangkan.
  2. Identifikasi Pola ruang dan langgam bangunan yang khas Desa Sambori.
  3. Identifikasi kegiatan wisata budaya di masing-masing tempat dan waktu dan pelaksanaan festival kebudayaan Sambori.
  4. Identifikasi unsur-unsur kebudayaan masyarakat asli di Desa Sambori.
  5. Identifikasi pola partisipasi masyarakat dalam rangka pengembangan etnotourisme
  6. Desain kawasan/penataan tapak, untuk kawasan wisata dalam pengembangan etnotourisme.
Dengan memperhatikan dan memformulasikan antara faktor-faktor diatas maka diharapkan dapat meningkatkan dan mengarahkan suatu pola yang signifikan bagi perkembangan etnowisata di Desa Sambori.

(1) Global Paradox hal. 109



Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger