Home » , , , » Histografi Singkat, Peran Islam dalam Kesultanan Bima

Histografi Singkat, Peran Islam dalam Kesultanan Bima


Mengupas Islam di Bima, tentu kita akan diarahkan untuk menyingkap akar-akar sejarah Bima secara fenomenologis. Sejak berdiri secara resmi (de jure) menjadi sebuah pemerintahan monarki bercorak Kesultanan pada tahun 1640 M, perkembangan Islam di Bima kemudian tertata dalam beberapa babak sejarah yang terintegrasi. Meskipun catatan sejarah resmi Bima hanya bersumber pada Bo’ Sangaji Kai sebagai teks kerajaan, namun setidaknya analisis kritik-hermeunetik kita akan memilah beberapa aspek yang saling terkait satu sama lain.

Relasi Diplomatik dengan Gowa
Pertama, Kesultanan Bima secara de facto didirikan pada tahun 1621 M bertepatan dengan pengukuhan Abdul Kahir Ma Bata Wadu sebagai Sultan I. Pada periode awal ini, corak dan gaya pemerintahan Kesultanan Bima cenderung mencangkok tatanan Kesultanan Gowa yang lebih awal menjadi basis kerajaan Islam. Situasinya pun berlangsung dalam sebuah drama hegemoni Belanda di wilayah perairan Sulawesi dan Bima. Pada saat yang sama, kemunculan Abdul Kahir Ma Bata Wadu dalam bursa kepemimpinan Kerajaan adalah resultan akhir dari perang saudara yang terjadi di wilayah Kerajaan Bima. Jadi, persemaian Islam secara struktural dalam wilayah tanah Bima, muncul sebagai sebuah pilihan dan akibat dari tolak-tarik kekuasaan dalam lingkup internal kerajaan Bima Kuno,  juga imbas dari intervensi maupun tekanan Belanda yang ingin mencaplok Bima sebagai daerah basis perdagangan baru, serta muara dari gencarnya arus dakwah yang dialirkan dari Malaka dan Jawa. Ini adalah gambaran retro-kognisi tentang kehadiran Islam sebagai konstruksi kebudayaan baru dalam khazanah kebimaan kita. Bandingkan dengan sejarah-sejarah masuknya Islam di sebahagian besar wilayah di Nusantara yang cenderung digambarkan secara damai dengan dakwah terbuka.

Kedua, Dalam pertumbuhan dan perkembangannya selama satu abad sejak masa kepemimpinan Sultan Abil Khair Sirajuddin (1640) sampai akhir periode Sultan Alauddin (1748), Kerajaan Bima menerapkan konstitusi kerajaan yang masih diadopsi dari Gowa, dan ini berpengaruh besar pula secara sosiologis dalam tatanan kebudayaan masyarakat Bima di masa itu. Beberapa warisan budaya yang monumental, sebutlah salah satunya U’a Pua merupakan sebuah kombinasi tradisi Minang dan Gowa yang diperkenalkan ke Bima untuk dijadikan sebagai event tahunan berbasis Islami. Ini pun mempengaruhi pola interaksi masyarakat (mu’amalah) dalam berbagai ranah, seperti pernikahan, perdagangan dan kesenian, yang kesemuanya itu muncul sebagai kebudayaan baru yang sarat dengan regulasi hukum Sara (Syara’=Al Qur’an dan Hadits). Pada masa ini, meskipun disibukkan dengan hiruk-pikuk peperangan di ranah regional (Gowa versus Belanda), para Sultan Bima juga tetap menggalangkan syiar dakwahnya ke daerah-daerah protektorat jauhnya seperti Manggarai, berita berdirinya Kesultanan Islam juga dikabarkan oleh para juru dakwah sampai ke sana, sehingga wilayah-wilayah di bagian barat Flores serta merta mengikuti anjuran Kesultanan Bima.

Hubungan Diplomatik dengan Malaka (Aceh)
Dalam lintasan sejarah panjangnya, Kesultanan Bima kemudian masuk pada masa-masa kontak diplomatik dengan beberapa kesultanan kain di Nusantara. Jika pada masa Abdul Kahir I sampai Sultan Alauddin lebih banyak berinteraksi ke utara dengan Gowa, maka pada awal abad ke 18 yakni masa pemerintahan Sultan Abdul Qadim Muhammad Syah, Kesultanan Bima mulai merajut kembali hubungannya dengan Kesultanan di Malaka (Aceh). Selama ini, kontak Bima-Malaka lebih banyak diberitakan sebagai kontak perdagangan, sesuai catatan Tome Pires tahun 1513 yang menggambarkan Bima sebagai pulau pengekspor hasil bumi dan kuda. Menurut catatan Portugis ini, kontak perdagangan Bima pada sekitar tahun 1515 sudah sampai ke Malaka dan Siam (Thailand). Pada masa Abdul Qadim ini pulalah, Bima mulai mengurangi porsi hubungan dengan Gowa, meskipun secara kebudayaan Bima tidak bisa melepaskan Gowa begitu saja. Dan Aceh kemudian menyebarkan delegasi-delegasi resminya ke seluruh kerajaan di Nusantara untuk menggalang persaudaraan sesama agama. Melalui kontak-kontak inilah akhirnya konstitusi Islam yang sah diterapkan di Malaka juga disodorkan pada seluruh kerajaan Islam di nusantara. Kesultanan Bima yang sedang berada dalam tekanan Belanda pasca pelengseran Komalat Syah tentu membutuhkan dukungan politik kuat untuk meneguhkan sikapnya di hadapan Belanda, dan Malaka menjadi jaminan baru bagi kesultanan Bima karena kedekatannya dengan Khilafah Utsmaniyyah secara langsung.

Maka dalam Bo’ Sangaji Kai, isyarat perhubungan dengan Malaka ini mulai terlihat kembali, bukan hanya dalam ranah ekonomi, tetapi juga sudah masuk dalam ranah diplomatik. Selanjutnya, para juru tulis kesultanan mulai menggunakan label ini pada nama Sultan Abdul Qadim,penulisan ini menjadi standar pencantuman nama resmi dalam kerajaan. Tidak hanya itu saja, jika memperhatikan beberapa surat Sultan Abdul Hamid misalnya, penggunaan istilah-istilah Arab dalam suratnya seolah mengisyaratkan bahwa di Bima terdapat beberapa juru tulis khusus yang sudah mahir menulis surat-surat Arab Melayu. Bukan hanya label bagi Sultan yang diadopsi mentah-mentah oleh para administratur kerajaan waktu itu, tetapi juga pencantuman sebutan Arab bagi perdana Menteri yakni Wazir Al Mu’azzam (Wazir Agung). Frase-frase seperti Sultan, Wazir, Syah dan Al Haq sesungguhnya merupakan ciri dari Al Qanun yang dibuat oleh Sultan Sulaiman The Magnificient dari Ottoman. Kerajaan Aceh sendiri, dan hampir semua kerajaan Islam di wilayah Pattani dan Malaka benar-benar menerapkan hukum kerajaan yang diserap secara langsung dari Khilafah Utsmaniyyah Turki.

Setelah Khilafah Utsmaniyyah mengalami kemerosotan dalam percaturan politik global, maka pada saat yang sama kerajaan-kerajaan Islam nusantara harus jatuh bangun untuk menjaga dan membentengi wilayah masing-masing dari infiltrasi politik perdagangan Belanda. Di Bima sendiri, tatanan sosial dan pemerintahan kesultanan mengalami guncangan hebat pasca letusan Tambora tahun 1815. Secara otomatis, majelis sara kesultanan Bima perlu melakukan sebuah proyek rekonstruksi dan rehabilitasi besar-besaran pasca bencana dunia itu. Dalam Bo’ Sangaji Kai pun sulit mendapatkan berita-berita tekstual tentang nasib kerajaan Bima sejak mangkatnya Sultan Abdul Hamid. Periode Sultan Ismail, Sultan Abdullah dan Sultan Abdul Aziz samar-samar diceritakan, bahkan tidak begitu banyak terulas dalam sejarah. Barulah pada masa Sultan Ibrahim, beberapa informasi penting tentang Bima bisa terungkap secara skriptual.


Hubungan Diplomatik dengan Ibnu Sa’ud
Era kepemimpinan Sultan Ibrahim pada tahun  1881 – 1915 merupakan era yang cukup gemilang bagi kebangkitan Islam di Bima. Pada periode Sultan Ibrahim, di Turki justru sedang terjadi kegalauan besar, Khilafah Utsmaniyyah harus sibuk menghadapi beberapa pemberontakan bangsa Serbia dan Perang Balkan yang akhirnya memaksa Turki untuk melepas daerah-daerah bekas taklukannya tersebut. Dan ini terus berlangsung seiring menguatnya blok Ibnu Saud dan meluasnya ajaran Wahabi di wilayah Arab Saudi. Turki yang mulai kehilangan pengaruh di wilayah-wilayah Islam bahkan harus terlibat kontak senjata dengan Dinasti Ibnu Saud untuk merebut hak pengelolaan Masjidil Haram. Tolak tarik politik di tingkat global juga berdampak langsung pada pilihan dan haluan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kesultanan Bima, yang sudah dikenal sebagai kerajaan Islam terbesar dan paling berpengaruh di kawasan timur, juga harus mengambil sikap penting untuk menata hubungan internasionalnya. Pada masa Sultan Ibrahim inilah, kemudian Bo’ memberitakan adanya hubungan yang lebih bersahabat antara Kesultanan Bima dengan pemerintahan Ibnu Sa’ud, barangkali tidak banyak kerajaan Islam di Nusantara yang sudah mempunyai maktab khusus bagi jemaah haji dan para pelajarnya di Mekkah, tetapi yang luar biasanya adalah ketika Pemerintah Kerajaan Ibnu Sa’ud mengijinkan Sultan Ibrahim untuk mewakafkan sebidang tanah di Makkah untuk menjadi pemondokan bagi para jemaah haji asal Bima, yang kemudian hari kita kenal dengan istilah Dana Ngaji Kai.

Kontak diplomatik dengan Kerajaan Ibnu Saud tetaplah harus dilihat sebagai sesuatu yang baru, karena jauh hari sebelumnya catatan-catatan penting yang memberitakan perhubungan Bima – Arab justru tidak begitu mengemuka, kalaupun bisa disebut, tokoh sentral dari Bima yang mengisyaratkan adanya kontak dengan Mekkah hanyalah Syaikh Abdul Gani Al Bimawi pada penghujung akhir abad ke 19. Kontak ini justru tidak mengambil model akulturasi dan asimilasi paradigma keislaman yang dianut dua kerajaan ini. Jika Kerajaan Ibnu Saud menjadi poros penerapan Islam ala Wahabi, maka di kerajaan Bima masih melestarikan tradisi keislaman bercorak Syafi’iyyah atau kita kenal dengan nama lama Islam Ajaran Dua Belas (ahlussunnah wal jamaah). Pada masa ini pula,  Kerajaan Bima memiliki seorang ahli fiqh dan Ulama hebat yang datang langsung dari Mekkah, yakni Syekh Abdul Wahab Asy Syafii Al Makki (sempat menetap di desa Lanta; nama Lanta sendiri diambil dari sebutan warna sorban dan jubah yang dikenakan oleh Syaikh Abdul Wahab). Bersama-sama dengan beberapa Ulama lokal alumni Haramain, Abdul Wahab kemudian dipercaya untuk mengajarkan agama dalam wilayah kesultanan Bima.

Pasca mangkatnya Sultan Ibrahim, kerajaan Bima kemudian menunjuk seorang pengganti yakni putera kandung Sang Sultan, yakni Salahuddin yang sebelumnya menjabat sebagai Jeneli Donggo. Walau didapuk pada usia muda yakni 27 tahun, namun Sultan Salahuddin dikenal sebagai prototipe Raja bermental pejuang, berkarakter santri, tanpa harus melepaskan kharismanya sebagai seorang bangsawan tertinggi kerajaan Bima. Dari berbagai sumber diceritakan bahwa sejak kecil Muhammad Salahuddin sudah dididik dalam lingkungan religius yang taat, apalagi ayahnya adalah seorang Sultan yang terkenal memiliki koneksi bilateral dengan Mekkah. Pendidikan agama, ilmu tauhid, fiqh dan Hifdzul Qur’an maupun Mustalahah Hadits, beliau dapati langsung dari Ulama-ualam Jawi terkemuka seperti Syekh Hasan Sahab dan Syekh Abdul Wahab As Syafi’i dari Mekah. Sultan Muhammad Salahuddin merupakan murid tekun dan genius, beliau bahkan mempunyai perpustakaan pribadi yang berisi Kitab-kitab dariUlama besar berhaluan Syafi’i, bahkan beliau menulis salah satu buku yang berjudul Nurul Mubin. Pada awal tahun 1920an, Sultan ini mulai mencanangkan sistim pendidikan moderen dengan mendirikan HIS di Kota Raba. Pada saat yang sama juga menginisiasi pendirian sekolah-sekolah agama di beberapa wilayah kejenelian, dan ”Sakola Kita” (Sekolah Ngaji Kitab Arab Melayu) seperti yang ada dalam tradisi pesantren-pesantren Jawa mulai berkembang di desa-desa. Pada masa Salahuddin, ilmu pengetahuan menjadi bahagian penting yang dikembangkan dan diperhatikan oleh Kesultanan, Sultan bahkan memanggil beberapa guru dari luar Bima untuk datang mengajar, sebaliknya beberapa pelajar berprestasi dibiayai untuk sekolah sampai ke Mekkah.

Tidak hanya itu, Sultan Salahuddin bahkan menjadi kian ekstrovert (terbuka) dan membuka diri untuk mempersilahkan masuk beberapa organisasi-organisasi Islam yang sedang melebarkan daerah cabangnya. Istana Kerajaan Bima menjadi poros persemaian ide-ide dan gagasan Islam sekaligus pusat rintisan gerakan-gerakan kemerdekaan yang pada gilirannya nanti kemudian melahirkan negara Republik Indonesia. Sisi lain yang jarang diketahui oleh kita ialah, bahwa Sultan Muhammad Salahuddin, di balik ketegasan dan konsistensinya memimpin kerajaan bercorak Islam, beliau adalah sosok yang sangat toleran dan inklusif. Kehadiran organisasi yang tidak berazaskan Islam, seperti Parindra tahun 1939, PIR tahun 1949 dan PNI pada era yang sama, tetap disambut baik oleh Sultan Muhammad Salahuddin, bahkan beliau tidak segan-segan memplot beberapa bawahannya dalam struktur pemerintahan untuk menduduki jabatan-jabatan organisatoris di luar istana. Nahdlatul Ulama, Muhammadiyyah, Perhimpunan Islam Bima dan banyak organisasi lainnya, diberi keleluasaan untuk mengembangkan sayap perjuangan di wilayah Bima. Beliau menjadi sahabat karib Bung Karno, sehingga pantas saja Negara menghargai beliau sebagai salah satu tokoh penting di balik sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kita semua tahu, bahwa Kesultanan Bima adalah kerajaan kedua setelah Yogyakarta yang langsung menyatakan diri berada di belakang Negara kesatuan Republik Indonesia, ikrar kesetiaan tersebut tertuang dalam Maklumat 22 November 1945 yang ditandatangani sendiri oleh Sri Sultan Muhammad Salahuddin.

Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger