Terdakwa kasus dana alokasi khusus (DAK) pendidikan Kota Bima 2007 Sulaiman Hamzah menjalani sidang perdananya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kemarin. Sidang yang dimulai pukul 11.00 Wita itu berisi pembacaaan dakwaan oleh tim jaksa penuntut umum (JPU).
Sidang dipimpin hakim ketua Jon Sarman Saragih, Mohammad Idris Mohammad Amin, dan Edward Samosir SH. Dalam sidang itu, anggota DPRD NTB dari Partai Demokrat ini didakwa telah melakukan perbuatan bersama dengan Syahruman selaku pimpinan proyek DAK dan Y Titik Handoyo, kuasa bendahara umum daerah (BUD) tidak menyalurkan DAK ke rekening masing-masing sekolah.
Sidang dipimpin hakim ketua Jon Sarman Saragih, Mohammad Idris Mohammad Amin, dan Edward Samosir SH. Dalam sidang itu, anggota DPRD NTB dari Partai Demokrat ini didakwa telah melakukan perbuatan bersama dengan Syahruman selaku pimpinan proyek DAK dan Y Titik Handoyo, kuasa bendahara umum daerah (BUD) tidak menyalurkan DAK ke rekening masing-masing sekolah.
Perbuatan tersebut telah melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 766 juta sebagaimana hasil audit BPKP Denpasar. Sehingga terdakwa didakwa dengan pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Dalam dakwaan primair, terdakwa yang pada 2007 menjabat Asisten II Setda Kota Bima didakwa telah melakukan atau turut serta melakukan dengan Syahruman selaku pimpinan proyek DAK Non Reboisasi lingkup Dinas Dikpora Kota Bima dan Y Titik Handoyo, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
DAK tahun 2007 bakal diserahkan pada 34 sekolah sesuai SK Wali Kota nomor 17 tahun 2007 tertanggal 19 September 2007. Setelah menetapkan 34 sekolah, pada tanggal 1 oktober 2007 dilakukan penandatanganan surat perintah kerja oleh Kadis Dikpora Kota Bima selaku penanggung jawab.
Pada tanggal 28 Desember 2007, secara bertahap dana itu telah direalisasikan pada 34 sekolah penerima DAK sebesar Rp 9 miliar lebih dan sudah dilakukan pemindahbukuan ke rekening bank masing-masing sekolah. Tapi, DAK itu masih terdapat sisa yang belum direalisasikan sebesar Rp 766 juta yang bersumber dari dari APBD Kota Bima tahun 2007.
Pada tanggal 1 April 2008, Sailan selaku bendahara pengeluaran pada Dinas Dikpora Kota Bima dan Syahruman mengajukan surat permintaan pembayaraan (SPP) atas sisa dana sebesar Rp 766 juta. Pada tanggal 3 April diterbitkan surat perintah membayar (SPM) yang ditandatangani H Sukri selaku Kadis Dikpora Kota Bima. Setelah mengajukan SPM pada kuasa bendahara umum daerah Y Titik Handoyo, diterbitkan surat perintah pencairan dana (SP2D) dengan nomor 2624/LS/08 tertanggal 26 Mei 2008 sebesar Rp 766 juta dan uang itu dicairkan dengan melakukan pencairan tunai dari PT Bank NTB Cabang Bima dengan menertbitkan cek senilai Rp 766 juta.
Dana itu diserahkan pada Sailan yang disaksikan oleh Syahruman. Namun, ketika uang itu berada di tangan Sailan, Syahruman menyampaikan bahwa sebagian uang tersebut sebesar Rp 300 juta akan dipinjam terdakwa Sulaiman Hamzah, namun permintaan itu ditolak Sailan.
Setelah menerima dana sebesar itu Sailan lantas membawa uang itu ke kantor Dinas Dikpora Kota Bima untuk disimpan, sekaligus dilaporkan pada sang kadis. Tapi, setelah meninggalkan ruang bosnya itu, Sailan kembali dipanggil oleh terdakwa.
Saat bertemu dengan terdakwa, Sailan langsung ditanya. ‘’Mau dibawa ke mana itu uang?’’ tanya Sulaiman seperti dibacakan JPU Budi Tridadi Wibawa.
Sailan kemudian menjawab uang itu akan dibawa ke Kantor Dikpora untuk disimpan di brankas dan dilaporkan kepada Kadis Dikpora Kota Bima. Karena sudah sore, sehingga tidak mungkin ditransfer ke sekolah dan bank sudah ditutup.
Dengan dalih brankas di Dinas Dikpora sudah rusak dan tidak bisa menyimpan uang sebanyak Rp 766 juta, kemudian terdakwa memerintahkan agar uang tersebut dititipkan pada Y Titi Handoyo selaku BUD dengan surat perintah tertulis pada 26 Mei 2008 yang ditandatangani terdakwa atas persetujuan Syahruman.
‘’Dana sebesar itu tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya,’’ kata Budi.
Sementara, terdakwa melalui penasihat hukumnya, Muchtar M Saleh menilai, dakwaan JPU kabur atau batal demi hukum. Karena dalam tuntutan tersebut, JPU tidak menguraikan perbuatan terdakwa, ke mana uang itu mengalir setelah terdakwa memerintahkan dititipkan kepada Y Titi Handoyo. Begitu juga dengan sebutan pinjaman sebesar Rp 300 juta sama sekali tidak pernah dilakukan. ‘’Kuitansi pinjaman itu pun hingga kini tidak bisa dibuktikan oleh JPU. Untuk itu, masalah ini harus dibuktikan di pengadilan nanti bahwa klien saya tidak bersalah. Karena letak perbuatan klien saya tidak diuraikan. Di mana kesalahannya, apa yang perbuatuan klien saya yang merugikan negara?’’ katanya, kemarin.
DEMOKRAT NTB BELUM SIKAPI PENAHANAN SULAIMAN HAMZAH
Dewan Pengurus Daerah Partai Demokrat Nusa Tenggara Barat belum menyikapi secara tegas penahanan Sulaiman Hamzah yang menjabat Ketua Fraksi Demokrat di DPRD provinsi, di Lembaga Pemasyarakatan Mataram, sejak 31 Januari 2012.
"Secara kemanusiaan kami sudah menjenguk Pak Sulaiman, tetapi belum ada sikap politik dari Demokrat karena memang belum pernah dibahas. Demokrat juga tentunya harus mendukung upaya penegakan hukum," kata Ketua I Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Demokrat Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH Mahally Fikri, di Mataram, Jumat.
Mahally yang didampingi Sekretaris DPD Partai Demokrat NTB Zainul Aidi, dan pengurus DPD Partai Demokrat NTB lainnya, mengatakan, sikap partai akan dicapai dalam rapat khusus yang dijadwalkan setelah Rapat Kerja Daerah (Rakerda) DPD Partai Demokrat NTB, 4 Februari 2012.
"Secara kemanusiaan kami sudah menjenguk Pak Sulaiman, tetapi belum ada sikap politik dari Demokrat karena memang belum pernah dibahas. Demokrat juga tentunya harus mendukung upaya penegakan hukum," kata Ketua I Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Demokrat Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH Mahally Fikri, di Mataram, Jumat.
Mahally yang didampingi Sekretaris DPD Partai Demokrat NTB Zainul Aidi, dan pengurus DPD Partai Demokrat NTB lainnya, mengatakan, sikap partai akan dicapai dalam rapat khusus yang dijadwalkan setelah Rapat Kerja Daerah (Rakerda) DPD Partai Demokrat NTB, 4 Februari 2012.
Permasalahan hukum yang dialami Sulaiman Hamzah itu juga tidak agendakan dalam Rakerda Partai Demokrat NTB.
Sementara ini, pengurus Demokrat NTB lebih memilih mempercayakan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Bima 2007, yang melibatkan Sulaiman Hamzah itu.
"Demokrat tidak akan lakukan hal itu, karena partai kami juga harus mendorong penegakan hukum secara transparan dan berkeadilan sesuai ketentuan perundang-undangan," kata Mahally ketika ditanya mengapa Partai Demokrat NTB tidak segera mengajukan permohonan penanguhan penahanan.
Menurut Mahally, Sulaiman Hamzah dan pengacaranya serta pendukungnya sudah menyatakan akan segera mengajukan permohonan penangguhan penahanan, sehingga pengurus Partai Demokrat NTB merasa tidak perlu melakukan hal yang sama.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris DPD Partai Demokrat NTB Zainul Aidi, mengatakan, permasalahan hukum yang dialami salah seorang kader Partai demokrat itu, merupakan persoalan di masa lalu ketika Sulaiman menduduki jabatan struktural di Pemerintah Kota Bima.
"Masalah itu ketika beliau menduduki jabatan di Pemkot Bima, dan kami pun juga harus tetap mendorong upaya penegakan hukum," ujarnya.
Mahally dan Zainul mengakui, ada kemungkinan Sulaiman Hamzah dilengserkan dari jabatannya sebagai Ketua Fraksi karena telah berstatus tersangka atas suatu perbuatan melawan hukum.
Sebelum berkecimpung di Partai Demokrat, Sulaiman menjabat Kepala Dinas Pendidikan Dasar Pemuda dan Olahraga (Dikdaspora) Kota Bima, dan pada masa jabatannya itu ia teridentifikasi terlibat penyimpangan dalam pengelolaan DAK 2007 yang total nilai anggarannya mencapai Rp10 miliar untuk pembangunan 34 unit Sekolah Dasar (SD).
Indikasi penyalahgunaan DAK itu, berupa penyaluran DAK di Dikdaspora Kota Bima yang disinyalir tidak sesuai ketentuan.
Sebanyak 34 SD di Kota Bima yang mendapat DAK 2007 itu hingga kini belum diberikan sisa dana dari Dikdaspora Kota Bima, dimana rata-rata dana yang belum diterima ini berkisar antara Rp17,5 juta hingga Rp35 juta, tergantung jumlah paket yang dikucurkan saat itu.
Pagu dana untuk setiap SD berkisar antara Rp250 juta hingga Rp500 juta, bergantung dari jumlah paket yang diterima. Namun sebagian besar SD hanya mendapatkan dua paket proyek dengan nilai Rp 500 juta.
Sementara bendahara proyek DAK itu mengaku telah menyerahkan ke Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Bahkan, dilaporkan tak hanya DAK 2007 saja yang belum dikucurkan sesuai ketentuan, DAK 2009 pun belum tuntas, karena masih ada sejumlah sekolah yang belum menerima dana itu sesuai jumlah yang semestinya.
Versi penyidik kepolisian yang berkaskan dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dugaan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp766 juta.
Sebelum Sulaiman, ditetapkan sebagai tersangka, penyidik lebih dulu menetapkan mantan Kasubdin Pendidikan Dasar (Dikdas) Dikdaspora tahun 2007 H Sahruman Abdullah, sebagai tersangka, dan langsung ditahan di Lapas Mataram.
Bahkan, berkas perkara Sahruman sudah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram.
Tersangka lainnya dalam kasus dugaan penyimpangan DAK Kota Bima 2007 itu yakni Y Titik Handoyo selaku bendara DAK, namun yang bersangkutan masih berkeliaran di Bima karena belum dilakukan penahanan.
Ketiga tersangka DAK itu dijerat pasal 2 dan 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info_Mbojo
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re