Sistem Teknologi
Pada masa ini, terdapat beberapa jenis bangunan, yaitu bangunan lengge, jompa, berbagai fasilitas dan rumah tinggal. Berkaitan dengan rumah lengge masih mempertahankan konstruksi, bentuk, susunan dan fungsinya. Dalam hal ini uma lengge memiliki atap dari bahan rumbia atau alang-alang yang tinggi dan runcing sehingga pintu masuk tidak tampak. Bubungan menggunakan kayu dengan bentuk tanduk binatang, konstruksi ceko, dan berfungsi sebagai penyimpan bahan makanan seperti halnya pada masa ncuhi.
Bangunan jompa seperti halnya lengge dibuat dalam lingkungan khusus yang terpisah cukup jauh dari pemukiman. Namun ada pula beberapa rumah yang masih mendirikan jompa dalam satu pekarangan dengan rumah. Tidak seperti halnya lengge yang mempertahankan keadaannya seperti semula, jompa mengalami perubahan dalam hal penggunaan bahan bangunan yang beralih menjadi genteng atau seng. Penggunaan atap genteng dan seng berlaku pada beberapa jompa dengan alasan dapat menyimpan panas dan mengurangi dampak kebakaran. Sedangkan hal-hal lainnya tetap bertahan seperti terbuat dari bahan kayu yang berdinding empat, memiliki konstruksi pa-a sekolo, badan jompa disanggah oleh tiang yang tinggi dan fungsinya sebagai penyimpan cadangan bahan makanan. Jompa dan lengge juga berfungsi sebagai status ekonomi seseorang, orang memiliki lengge atau jompa ataupun memiliki kedua-duanya dianggap memiliki status ekonomi menengah keatas. Selain itu, sebagai alat kontrol untuk hidup hemat. Seorang isteri yang diketahiu mengambil lebih dari sekali bahan makanan dalam seminggu, dianggap boros dan memalukan.
Rumah tinggal masih menggunakan model lama yaitu berupa rumah panggung yang terdiri dari dua bagian, yaitu badan bangunan dan kolong, namun ada beberapa rumah yang masih menggunakan ruang dibawah atap untuk menyimpan beberapa barang (berfungsi sebagai gudang). Rumah-rumah juga masih menggunakan bubungan pada atap berupa wanga (tanduk) dan ada pula yang menggunakan bubungan berupa bentuk-bentuk kaligrafi. Bahan atap paling banyak menggunakan genteng, ada pula yang masih menggunakan atap dari alang-alang.
Bahan yang digunakan untuk membangun rumah di Desa Maria sebagain besar masih menggunakan bahan bangunan lama yaitu dari bahan kayu, sebagian besar berupa kayu jati dan kayu nangka yang banyak di terdapat di dalam desa. Selain itu ada juga yang menggunakan bahan gedek, bata/semen, dan adapula yang berbahan campuran dari kayu dan semen. Penggunaan rumah dari bahan kayu, selain bahan bakunya lebih murah dan lebih mudah diperoleh, juga merupakan kebiasaan turun temurun yang sesuai dengan pola hidup masyarakat bertani. Alasan lainnya, topografi dan bentuk relief wilayah yang tidak rata menyebabkan rumah kayu dapat menyesuaikan tinggi rendah tiang terhadap tanah yang tidak rata. Pembangunan rumah dengan ukuran yang tidak sama inipun sebenarnya merupakan adat kebiasaan yang artinya menyatukan segala sesuatu yang tidak seimbang untuk membentuk suatu hasil baru yang satu dan haronis, disini dirasakan rumah akan lebih hidup. susunan ruang rumah dari bahan kayu kayu memberikan kehangatan pada saat malam hari. Pada saat siang hari masyarakat lebih suka berada di bawah rumah, yaitu di serambi rumah atau di pos jaga atau deker, kalaupun tetap ingin ada di rumah suasana sejuk pada siang hari dapat diperoleh karena adanya angin yang masuk melalui celah lantai kayu. Selain itu, celah lantai ini digunakan untuk mengintip apa yang terjadi di sekitar rumah baik untuk melihat adanya pencuri ataupun untuk melihat keadaan hewan ternak. Lantai dengan celah ini pun berfungsi untuk membuang air bekas memasak dari dapur dan untuk memberi makan ternak di bawah kolong rumah.
Untuk tangga rumah panggung, masih menggunakan tangga yang dibuat dengan bentuk melengkung ke depan, tangga yang melengkung dapat menahan beban lebih besar dari tangga yang lurus sehingga tangga lurus lebih mudah patah dan posisi tangga yang terus menanjak ke atas tanpa lengkungan dapat menyebabkan orang yang naik-turun rumah lebih mudah capek. Anak tangga berjumlah ganjil. Alasan membuat anak tangga dengan jumlah ganjil disesuaikan dengan jumlah waktu shalat dalam Islam dan untuk menghindari kecelakaan waktu naik-turun dari tangga. Jumlah tangga genap diyakini dapat menyebabkan orang mudah jatuh. Selain itu, keberadaan serambi di sekeliling rumah, terutama bagian depan dan belakang rumah masih dipertahankan. Dalam pemilihan konstruksi bangunan, ada yang menggunakan pa-a sekolo dan ada pula yang menggunakan konstruksi ceko serta dinding pemikul. Pada saat ini penggunaan konstruksi ceko lebih dominan.
Terdapat pula beberapa rumah yang mengalami perpaduan dalam hal model dan bahan bangunan. Beberapa bangunan ada yang terbuat dari bahan batu bata sehingga mengalami perumahan model dengan bangunan asli setempat terutama dalam bagian-bagian ruang pada bangunan, dimana ruang bangunan kolong dan atap tidak ada lagi. Bagian bangunan yang biasanya dipertahankan hanya dalam pembuatan bubungan berbentuk wanga. Selain adanya perubahan bahan bangunan secara utuh, terdapat pula beberapa bangunan yang terdiri dari semen dan kayu (campuran), model jenis ini cukup banyak ditemukan di Maria. Penggunaan semen biasanya hanya sebatas pada tangga bangunan atau rumah saja, sedangkan bagian lainnya memiliki bahan dan model seperti halnya bangunan tradisional Wawo pada umumnya.
Tingkat ekonomi dan sosial masyarakat di Desa Maria dapat diketahui dari jumlah tiang rumahnya. Semakin banyak jumlah tiang rumah seseorang semakin tinggi pula status sosial atau tingkat ekonominya atau memiliki kedua-duanya. Masyarakat biasa kebanyakan memiliki rumah dengan jumlah tiang rumah sebanyak enam tiang. Sedangkat bangsawan dan masyarakat dengan status ekonomi menengah ke atas memiliki rumah dengan jumlah tiang rumah 9, 12, bahkan 16 tiang. Dahulu rumah dengan jumlah tiang lebih dari enam hanya dimiliki oleh bangsawan-bangsawan saja. Namun seiring dengan peningkatan ekonomi dan mulai pudarnya unsur kebangsawanan, rumah dengan jumlah tiang lebih dari enam dapat dimiliki oleh siapa saja yang mampu. Rumah dengan jumlah 9 tiang paling banyak terdapat di desa Maria, dengan kata lain berdasarkan jumlah tiangnya maka status ekonomi rata-rata masyarakat Maria menengah ke atas. Adapun rumah 16 tiang hanya ada 1 ditemukan di desa Maria, yaitu rumah peninggalan peninggalan pada Fase Kerajaan atau disebut oleh masyarakat rumah peninggalan Majapahit yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat memiliki pengaruh dan kesaktian sehingga pada saat musim kering berkepanjangan dilakukan pengisian mata air ke dalam kendi yang ada di rumah tersebut. Selai itu, masyarakat percaya bahwa memindahkan rumah tersebut apalagi merusaknya dapat menimbulkan wabah penyakit bagi seluruh masyarkat di Desa Maria.
Berkaiatan dengan padasa, pada saat ini keberadaannya sudah hilang. Karena masyarakat menggunakan ledeng atau sumur untuk berwudhu.
Dalam hal tata tapak bangunan pada masa kini merupakan perpaduan dan percampuran berbagai jenis faktor yang berpengaruh terhadap tata letak bangunan. Berdasarkan pengamatan, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap tata letak bangunan adalah :
- Arah garis-garis kontur atau kemiringan lahan
- Bentuk lahan yang dibatasi oleh sungai, sawah, bukit, dan sebagainya.
- Arah jalan yang ada
- Arah utara-selatan (tidak menghalangi arah kiblat) dan arah utara-barat
Untuk daerah yang terletak di atas bukit, letak rumah disesuaikan dengan arah kemiringan lahan atau arah garis kontur. Misalnya arah memanjang bangunan dibuat sejajar dengan arah garis kontur jadi tidak menusuk pusat bukit. Disamping itu, arah mengalirnya sungai dan air hujan mempengaruhi juga arah mengahadapnya bangunan. Misalnya rumah-rumah tidak menghadap arah datangnya aliran air hujan atau menentang arah arus sungai. Untuk daerah dataran rendah, pada umumnya bangunan menghadap ke jalan. Untuk rumah-rumah yang letaknya agak ke dalam arah menghadapnya tetap ke jalan, orang dari jalan menuju ke rumah dengan melewati halaman bersama. Jadi fungsi halaman bersama disini bukan sebagai pusat orientasi atau pusat aktivitas tetapi hanya sebagai tempat lewat orang-orang yang rumahnya di bagian dalam. Selain itu, pemilihan tataletak bangunan yang berkaitan dengan Islam masih dipertahankan. Arah bangunan diharapkan tidak sampai mengganggu kiblat (barat) sehingga bangunan diusahakan menghadap utara dan selatan.
Dalam hal pendirian bangunan, masyarakat masih mengikuti tatacara membangun pada masa kesultanan. Kesamaan terlihat dari penghitungan hari baik yang dipimpin oleh panggita. Sampai penyelenggaran dan pendirian bangunan.
Dalam hal pakaian, senjata, dan alat-alat pertanian serta obat-obatan di Maria mengalami perubahan pesat yang merupakan akumulasi berbagai budaya tradisional dan modern. Untuk menikah, masyarakat menggunakan pakaian tradisional dari baju kaca dan sambolo. Untuk pakaian sehari-hari masyarakat yang perempuan masih menggunakan sanggetu yang bagian atasnya dengan pakaian modern seperti kaos dan hem, begitu pula dengan laki-laki. Rimpu sudah jarang sekali ditemukan.
Alat-alat pertanian semakin maju, selain masih menggunakan tenaga manusia dan sapi, sabit dan parang, sebagian masyarakat juga sudah menggunakan traktor dan pupuk buatan untuk menolah lahan pertanian. Sedangkan dalam hal irigasi dilakukan pada beberapa sawah ½ teknis, sedangkan sebagian sawah masih menggunakan sistem tadah hujan.
Di bidang medis, selain mengolah obat-obatan sendiri yang diambil dari alam seperti daun pepaya, kunyit, asam, dan lain-lain. Masyarakat Maria sudah dilayani dengan obat-obatan dalam bentuk pil dan tablet yang diperoleh dari puskesmas setempat.
Makanan khas di Bima umumnya makanan dalam bentuk bahan mentah/jarang menggunakan bahan santan, seperti ‘doco (sejenis acar, tapi tidak dimakan dalam keadaan sudah layu atau lemas tapi pada saat buah masih keras atau baru) , manggemada (bakal pisang/kembang sebelum menjadi pisang yang dimasak sedemikian rupa dicampur dengan santan), ‘bohi dungga (terbuat dari tomat dan lombok yang dihaluskan) dan lain-lain. Pada saat ini makanan lainnya pun ditemukan seperti capcay, sate, dan soto terutama pada saat pernikahan.
Untuk keperluan transportasi dalam lingkungan desa,masyarakat biasanya lebih suka berjalan kaki, tapi bila dalam keperluan yang mendesak maka masyarakat menggunakan ojek atau benhur. Untuk transportasi menuju ke Bima atau sape, biasanya masyarakat menggunakan bis-bis yang khusus melayani Bima-Wawo-Sape. Masyarakat sesekali juga menumpang angkutan umum yang khusus melayani jalur Bima-Sape. Selain itu, di Ntori terdapat suatu pangkalan bis yang merupakan milik pribadi. Bis ini khusus menuju keluar daerah. Masyarakat Wawo yang ingin keluar daerah dapat menggunakan bis ini, tapi dapat juga menumpang bis ini bila ingin ke Bima dan biasanya untuk jarak dekat seperti itu tanpa ditarik pembayaran.
Di bidang pertanian, sistem pertanian dilakukan dengan cara lama (sebelum jaman kerajaan, tidak ada areal pertanian khusus. Kegiatan pertanian dilakukan secara berkelompok, apabila tidak mampu. Sebaliknya apabila mampu, dilakukan secara pribadi dengan menggunakan traktor.
Santabe ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re