Home » , » Imperialisme Belanda di Bima

Imperialisme Belanda di Bima


Pada tanggal 8 desember 1669, melalui perjanjian Rotterdam I di benteng Rotterdam Makasar untuk pertama kalinya kompeni memperoleh hak monopoli dan medapat ijin untuk mendirikan loji atau kantor dagang di pelabuhan Bima, yang artinya indikator imperialisme-kolonialisme
Pada tanggal 12 juni 1674 diadakan perjanjian Rotterdam II. Perjanjian Rotterdam ditolak oleh masyarakat dan banyak bangsawan yang meninggalkan istana mengungsi ke pedalaman berbagai desa. Mereka menyusun hidup baru disana dan menyatu dengan masyarakat pedesaan. Di sana mereka membuka lahan pertanian baru dengan mencetak sawah dan tegalan.

Ada beberapa desa yang menjadi pengawasan langsung raja/sultan, termasuk Wawo, Pesa, Ntori. Diduga bahwa kampung-kampung tersebut ialah tempat hunian bangsawan istana yang mnyebar dan menyatu dengan masyarakat pedesaan atau penduduknya mempunyai keterkaitan yang erat dengan istana yaitu mereka yang berurusan dengan perbendaharaan kerajaan.

Dengan perjanjian politik pada tahun 1905 Belanda mempunyai hak untuk memungut pajak bea cukai, pajak pelayaran, dan pajak ekspor melalui pelabuhan Bima. Pada akhir 1906 dikeluarkan peraturan atas pajak kepala atau pajak penghasilan (Bima = bea tuta) yang diberlakuakn mulai awal tahun 1907. Pajak dipungut dari hasil panen padi, setiap rumah harus membayar f 2,50,- dan setiap keluarga dengan 1 pikul beras (62,5 kg). Dan untuk keperluan pembayaran pajak ini dilakukan registrasi penduduk. Kerja paksa atau kerja rodi diterapkan, herendiert yaitu kerja rodi untuk keperluan tuan tanah dan kerja hamente yaitu kerja rodi untuk rakyat yang tidak mampu membayar belasting dengan membawa bekal hidup sendiri.

Kehidupan masyarakat yang memprihatinkan dan dikungkung oleh adat istiadat yang statis, dalam hal pendidikan hanya kaum bangsawan yang mendapatkan pendidikan dan berkesempatan menjadi pegawai pemerintah. Sehingga seolah-olah jabatan kepegawaian beralih secara turun-temurun. Pada tahun 1899 di kampung Soro bima terdapat sebuah sekolah kelas 1 yang diperuntukkan untuk anak-anak Belanda dengan bahasa pengantar bahasa Belanda dan pengajar dari Belanda. Karena semakin sedikitnya anak Belanda yang bersekolah disebabkan mengikuti orang tuanya ke daerah lain, maka ditempat yang sama didirikan kelas 2 diperuntukkan bagi anak-anak Bumiputera dan beberapa anak Belanda. Dengan bahasa pengantar bahasa Melayu dan lama pendidikan 4 tahun. Guru-guru kebanyakan didatangkan dari Makasar. Anak-anak Bumiputera banyak yang tidak aktif belajar. Selain karena adanya serangan penyakit malaria, juga disebabkan kebodohan masyarakat yang menganggap apabila bersekolah akan dimasukkan ke dalam agama nasrani. Dampaknya banyak orang tua yang menyembunyikan anaknya di ladang dan kebun apabila petugas pendartaran murid baru mendatangi rumah penduduk, anak permpuan dicukur gundul dan yang sudah  bersekolahpun dikeluarkan kembali. Akhirnya dengan adanya penjelasan dari kesalah pahaman tentang maksud sekolah, maka berangsur-angsur jumlah murid bertambah. Bahkan ada anak perempuan yang bersekolah. Sekolah kelas 2 untuk Bumiputera diajarkan pelajaran membaca, menulis dan berhitung.

Sekolah desa didirikan pada ibukota kejenelian dengan sistem bertahap dan penyelenggaraan pendidikan sekolah desa ditanggung oleh desa sendiri. Sebagai lanjutannya terdapat sekolah Vervolk School yang satu-satunya berada di desa Benteng. Pada tahun 1911 didirikan 3 sekolah desa yaitu di kejenelian RasanaE, Kejenelian Woha, dan Kejenelian Bolo. Pada tahap berikutnya ditambahkan 2 sekolah di Kejenelian Bolo, 5 di Kejenelian Sape, 3 di Kejenelian Wawo termasuk 1 sekolah di Maria, 1 di Kejenelian Monta, 3 di Kejenelian Woha, dan 2 di Kejenelian Donggo.
Guru-guru sekolah desa menggunakan pakaian seragam dinas dengan mengenakan kain sarung, jas tutup, dan kopiah. Sedangkan guru di sekolah Vervolk school memakai celana panjang, jas tutup dan kopiah. Seragam dinas tersebut disediakan sendiri.
Dengan kelonggaran politik dan dengan PP NIT stbl. 1946 No. 143 tahun 1946 dibentuk Soembawa Eiland Federatie. Pemerintahan di Pulau Sumbawa dijalankan oleh Dewan Raja-raja; sultan Bima sebagai ketua dan Sultan Sumbawa sebagai anggota. Dan dibentuklah Raad Bima-Dompu yang merupakan Dewan Penasihat. Dengan adanya Dewan Penasihat, pemerintah Kerajaan Bima kembali kepada pemerintahan yang berdasarkan Hukum Hadat dan Hukum Islam atau istilah populernya berasaskan Sara dan Hukum. Struktur pemerintahan dan penggajian dilaksanakan kembali sesuai hukum-hukum tersebut.

Santabe ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso


Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page

Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger