Home » , , , , » Sejarah Sigi Kalodu (Kamina)

Sejarah Sigi Kalodu (Kamina)


Sigi Kalodu adalah nama lain Masjid Kalodu. Masjid ini diyakini oleh beberapa kelompok masyarakat sebagai masjid kuno tertua di Bima setelah Masjid Kuno Kampo Nae (Kampung Nae) di Kecamatan Sape. Sigi Kalodu diyakini sebagai tempat persembunyian dan sekaligus masjid bagi La Kai, Jena Teke (putra mahkota) dan pengikutnya dari kejaran lawan politiknya waktu itu.

Masjid Nae didirikan oleh empat mubaligh dari Gowa, Tallo, Luwu, dan Bone, beberapa tahun sebelum Sigi Kalodu dibangun. Salahsatu mubalig itu  bernama Daeng Mangalle, yang kemungkinan dari Gowa atau Tallo.Tiga muballig lainnya tidak diketahui identitasnya.

Saat ini, terdapat sebuah sumur tua yang dikenal oleh masyarakat Sape bernama Temba Romba Sape (atau sumur loyang Sape). Keberadaan sumur itu berkat doa para mubaligh dari Makassar ketika rakyat Sape dilanda kekeringan tahun 1618 M. Masyarakat Sape masih menganggap sumur ini sebagai sumur ajaib. Di sekitar sumur inilah, para mubaligh ini mendakwahkan agama Islam ke segenap rakyat Sape dan sekitarnya. Tidak jauh dari sumur ini, terdapat kampung yang bernama Kampo Guru Gowa (yang sekarang lebih dikenal dengan Kampo Naru) untuk mengenang jasa para mubaligh dari Gowa, Makassar tersebut.

Sigi Kalodu awalnya hanya dikenal sebagai tempat persembunyian La Kai dan para pengikutnya. Lokasinya terletak di dataran tinggi dan berhutan lebat di dusun Kamina. Nama sebenarnya adalah Sigi Kamina, karena berlokasi di dusun Kamina. Disebut Sigi Kalodu karena penduduk generasi pertama dusun Kamina sekarang ini menempati dusun Kalodu. Penduduk yang juga adalah saksi ke-Islam-an sang Sultan berpindah ke dusun Kalodu karena alasan geografis. Dusun Kamina diapit oleh dua gunung (Utara dan Selatan), sehingga menyulitkan penduduk di dusun tersebut untuk menerima sinar matahari.

Jadi kalau ingin melihat keberadaan Sigi Kalodu yang bersejarah itu, datanglah ke dusun Kamina dan bukan ke Dusun Kalodu di Desa Kalodu. Desa Kalodu yang merupakan wilayah Kecamatan Langgudu berjarak lebih kurang 75 Km di sebelah Selatan Kota Bima.

Meski demikian, para ahli sejarah dan masyarakat Bima tetap saja menyebut tempat ibadah kuno tersebut dengan Sigi Kalodu. Saat ini, terdapat 4 tempat ibadah bagi ummat Islam di Desa Kalodu: Sigi Kamina (atau Sigi Kalodu) yang berlokasi di Dusun Kamina, Masjid Al-Hidayah berlokasi di Dusun Kalodu, Masjid An-Nur, Mushala La Kai yang berlokasi di Dusun Sangari dan Mushala Nurul Ilmi yang terletak di Dusun Kalodu. Masjid Al-Hidayah didirikan tidak lama setelah Masjid Kamina pada abad ke 17-an untuk menjadi tempat ibadah bagi penduduk Kamina yang pindah tadi. Sigi Kamina saat ini menjadi cagar budaya.

Tempat ibadah Sigi Kamina oleh masyarakat Bima disebut secara bergantian dengan Sigi Kalodu (Sigi adalah kata pinjaman dari Masigi yang dalam bahasa Makassar berarti masjid). Dua nama tersebut merujuk pada tempat ibadah yang sama. Sigi Kamina atau Sigi Kalodu didirikan sekitar tahun 1621 M (atau 1624) oleh Jena Teke La Kai (setelah memeluk agama Islam bernama Abdul Kahir), bersama beberapa muballig dari Sulawesi Selatan (Goa, Tallo, Luwu dan Bone) dan para pengikut Jena Teke Abdul Kahir (Jena Teke berarti Putera Mahkota).

Sebelum Sigi Kalodu dibangun, Dusun Kalodu merupakan tempat persembunyian Jena Teke La Kai bersama pengikutnya yang terpaksa meninggalkan Istana karena akan dibunuh oleh pamannya yang bernama Salise. Pamannya ini waktu itu menjabat sebagai Raja Bicara atau Perdana Menteri, sedangkan ayah La Kai yang bernama Ruma Mantau Asi Sawo menjabat sebagai Raja ke-26 Kerajaan Bima. Sepeninggal Raja, Salise mengambil alih kerajaan sementara La Kai sebagai Jene Teke (Putra Mahkota) yang masih kecil tidak berdaya untuk menghalanginya. Melalui bantuan Belanda, Salise yang memang berambisi mengambil alih kekuasaan yang semestinya jatuh ke tangan La Kai berhasil menjadi raja meski tidak disetujui oleh Lembaga Hadat Dana Mbojo (Lembaga Pemerintahan Kerajaan).

Pada tahun 1921 M, Jena Teke La Kai bersama pengikut melarikan diri ke Sape untuk menemui para muballig dari Sulawesi yang datang untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan raja Gowa dan Tallo kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Berdasarkan pesan tersebut, pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H (7 Februari 1621) Jena Teke La Kai bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan para mubalig itu. Sejak itu nama La Kai menjadi Abdul Kahir, Bumi Jara Mbojo menjadi Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, dan Manuru Bata Dompu, Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese, bernama Sirajuddin.

Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikutnya didampingi para muballig yang menjadi gurunya itu kembali menuju Dusun Kamina untuk mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan Masjid Kamina. Masjid ini selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu, Dusun Kamina menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi) di Desa Nae Kecamatan Sape.



Nggusu Waru yang tadinya adalah simbol Sigi Kalodu yang bertiang delapan saat ini dikenal pula sebagai delapan prinsip kepemimpinan Bima. Dari zaman kesultanan, Ngusu Waru menjadi syarat mengangkat seorang Sultan. Meski sudah terpilih, perilaku kepemimpinan Sultan, Ruma Bicara, Tureli dan Jenelli, akan tetap dipantau oleh masyarakat apakah konsisten menjalankan Nggusu Waru atau telah melenceng.


Ngusu Waru atau dikenal juga dengan Pote Waru adalah delapan sifat atau kriteria bagi seseorang yang akan dipilih menjadi pemimpin. Kedelapan sifat itu adalah: 

  1. Sa’orikaina, maja labo dahu (malu dan takut kepada Allah SWT; 
  2. Dua orikaina, bae ade (memiliki kepekaan spiritual, intelektual dan emosional yang proporsional; 
  3. Tolu orikaina, mbani labo disa (berani melakukan perubahan atau reformasi); 
  4. Upa orikaina, limbo ade ro na’e sabar (berlapang dada dan sabar); 
  5. Lima orikaina, ndinga nggahi rawi pahu (tidak munafik, satu kata dan perbuatan); 
  6. Ini orikaina, taho hidi (kokoh, berdedikasi tinggi dan berwibawa); 
  7. Pidu orikaina, di’i woha dou (terpanggil untuk mengambil tanggungjawab); dan 
  8. Waru orikaina, ntau ro wara (memiliki kekayaan rohani lebih penting dari materi). 

Ngusu Waru ini telah menjadi pegangan setiap Sultan yang berkuasa di zaman kesultanan dulu.

Dikutip dari berbagai sumber



Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger