Mengenal Upacara Adat Hanta U'a Pua


Upacara adat Hanta U’a Pua yang diselenggarakan kembali kali ini, memberikan arti tersendiri bagi masyarakat Bima terutama Majelis Adat Dana Mbojo. Bagaimana tidak, menurut Hj. Siti Maryam, Ketua Majelis Adat ini, sejak tahun 1950-an saat peralihan pemerintahan dari Kesultanan menjadi Pemerintahan Swapraja, kegiatan ini sempat terhenti dan tidak mampu sepenuhnya dihidupkan kembali. Usaha menghidupkan kembali tradisi ini bukannya tidak pernah dicoba, namun terbentur kendala karena situasi politik yang menggesek, tarik ulur. “Pernah dicoba sekali di tahun 1980-an dan sekali di tahun 1990-an, serta tahun 2003 lalu” kata Siti Maryam.
Diselenggarakannya kembali tradisi Hanta U’a Pua kali ini, menurutnya, merupakan pertanda baik karena mendapat sambutan positif baik masyarakat maupun pemerintah. Kelihatannya masyarakat Bima tampak lebih antusias kali ini, ujarnya. bagi Majelis Adat Dana Mbojo, melestarikan nilai budaya asli Bima yang dirayakan oleh masyarakat Bima secara umum seperti ini, merupakan salah satu agenda penting yang harus segera dibenahi, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. “Sejarah jangan sampai putus. Ini kekayaan yang tidak bisa dinilai dengan materi,” kata Budayawan yang kini konsen menulis dan mengumpulkan sejarah Bima di masa lampau ini. Hanta U’a Pua, tradisi Bima yang rencananya akan terus hidup kembali karena penyelenggaraannya akan dilakukan setiap tahun, lanjutnya.

Jika tidak dihidupkan kembali, lanjutnya, mana mungkin orang Bima terutama yang masih muda-muda yang sudah mulai diputus modernisasi tahu sejarah dan tradisi daerahnya. Contohnya saja, kenapa di Bima ada Kampung Melayu? Ini penting diketahui sebagai modal wawasan budaya anak-anak muda, bukan sekedar ingin memperkenalkan istana dan kesultanan, katanya. Sebagai masukan berharga bagi generasi muda, pada zamannya dulu, Kesultanan Bima pernah menjadi salah satu Kerajaan berpengaruh di Indonesia dan di kenal hingga Eropa.

Kampung Melayu di tengah-tengah Kota Bima sekarang, dulunya merupakan tempat khusus sebagai hadiah pemberian raja kepada para Datuk dan rombongan orang-orang Melayu yang mengantar Islam masuk ke Bima. Kini, keturunan orang Melayu asli yang mendiami tempat tersebut tidak lagi banyak, hanya sekitar 50 KK, kata H.Muhammad Ibrahim, Penghulu Melayu yang ke 60-an, yang kini menjadi pemimpin bagi orang-orang Melayu di Bima. Setiap peringatan Hanta U’a Pua, dari kampung sederhana inilah Uma Lige menjadi pusat perhatian khalayak yang sengaja memenuhi ruas-ruas jalan di mana mereka lewat, untuk mengantarkan U’a Pua kepada raja muda di Istana tua Kesultanan Bima.
U’a Pua , dalam bahasa melayu di sebut “Sirih Puan” merupakan satu rumpun “tangkai bunga telur” berwarna warni yang dimasukkan dalam satu wadah segi empat berjumlah 99 tangkai yang disimbolkan  sebagai Asma’ul Husna dan di tengahnya terdapat sebuah Al Quran. Sebuah rumah mahligae yang biasa disebut Uma Lige berukuran 4X4 meter persegi terbuka dari empat sisinya beratap dua susun. Di dalamnya, tampak jelas disaksikan oleh puluhan ribu pasang mata sepanjang jalan, empat perempuan menari Lenggo Mbojo dan empat laki-laki menari Lenggo Melayu, melenggak lenggok menebar senyum sembari mendampingi Penghulu Melayu, memasuki arena mengantar U’a Pua.

Saat Upacara, Peralatan Kesultanan Bima Dikeluarkan
Baru-baru ini, tepatnya di bulan April 2006, tradisi Kesultanan Bima berupa Hanta U’a Pua mulai digelar kembali. Puluhan ribu orang memadati halaman depan Istana tua Kesultanan Bima sejak pagi datang. Mereka datang dari berbagai penjuru Kota dan Kabupaten Bima, untuk menyaksikan tradisi langka yang berangkat dari peringatan Maulud Nabi Muhammad dan peringatan masuknya Islam di Tanah Bima, ratusan tahun yang lalu. Berbondong-bondong, tua muda bahkan mereka yang telah sepuh seolah bernostalgia kembali, datang dan duduk di depan halaman Istana Raja menanti saat-saat peringatan tiba. “Sejak pukul enam pagi tadi, saya duduk di sini,” ungkap salah seorang nenek yang usianya kira-kira lebih dari 70 tahun. Ia mengaku ingin benar ikut meluapkan emosinya untuk kembali ke masa lalu.
Sebentar kemudian ia bercerita, dulu, sekitar sebelum tahun 1950-an, ia bersama orang tua, saudara dan tetangganya masih bisa menikmati hikmadnya peringatan Hanta U’a Pua. “Ramai sekali, jauh lebih ramai dari sekarang ini,” ungkapnya sambil menambahkan bahwa di sekitar Istana tersebut orang-orang berdesakan, mengantri untuk bisa melihat kuda-kuda jantan yang gagah, penari Lenggo juga Uma Lige (mahligai) tempat Sirih Puan yang dipikul oleh ratusan prajurit istana. Nenek ini, dengan mata berbinar, seksama mengikuti satu persatu acara yang disuguhkan hingga prosesi adat tersebut benar-benar usai. “Meski prosesinya tidak lagi seperti dulu, saya puas menontonnya,” tuturnya mengantar langkah ringkihnya pulang.

Hanta U’a Pua, setidaknya mengobati kerinduan si nenek pada masa lalunya, di mana kejayaan Kesultanan Bima yang sangat ia banggakan mencapai puncaknya. Kembalinya tradisi U’a Pua yang hampir saja putus ini disambut gembira bukan saja oleh si nenek, namun juga oleh masyarakat Bima dan petinggi-petinggi adat yang saat itu tampil lengkap dengan pakaian kebesaran Kesultanan Bima yang disebut Siki Lanta. Acara ini, menghadirkan kesan tradisi yang cukup kental karena hampir seluruh undangan memakai pakaian adat Bima maupun pakaian adat khusus yang biasa dipakai di masa Kesultanan Bima tengah aktif. “Sebagian besar peralatan Kesultanan Bima dikeluarkan pada upacara ini untuk disaksikan oleh khalayak,” kata Siti Maryam.
Juga musik tradisional mengiring sepanjang acara berlangsung. Simbol-simbol tradisi semakin menguatkan dan memberi roh masa lalu yang patut terus dipertahankan sebagai sebuah tradisi yang cukup unik. Tidak heran, sepintas lalu kegiatan ini menjadi nostalgia bagi banyak anak-cucu masyarakat Bima yang sempat hidup di masa itu. “Rencananya, kegiatan ini akan diselenggarakan setiap tahun,” ungkap Hj. Siti Maryam Sultan Salahuddin, Tokoh masyarakat Bima yang juga putri Sultan Salahuddin dari Kesultanan Bima.nik


Tangkai Unik Bunga Dolu, Diyakini Membawa Berkah
Ketika acara Hanta U’a Pua dimulai di halaman Istana tua Kesultanan Bima, jauh sebelumnya, di salah satu jalan utama Kota Bima, kuda-kuda jantan yang disebut Jara Wera (Kuda Wera), Jara Sara’u (Kuda Kesultanan) mengiringi orang-orang Melayu sebagai tamu kehormatan di acara tersebut dan juga Mahligae (Uma Lige) berukuran besar yang membawa Penghulu Melayu, tengah melintas di hadapan masyarakat Bima yang memenuhi bibir kiri dan kanan sepanjang jalur yang dilewatinya.
Rombongan ini selangkah demi selangkah menuju halaman depan Istana tua Kesultanan Bima. Di sana para pejabat dan petinggi adat serta puluhan ribu penonton yang memenuhi sekitar istana, menanti kehadirannya. Beberapa saat kemudian, sepuluh kuda jantan yang disebut Jara Wera memecah suasana hikmad, masuk memperagakan ketagguhannya, berputar-putar mengitari arena dengan penunggangnya yang cekatan. Menurut Hj. Siti Maryam, dulu para penunggang tersebut merupakan pendekar yang menunjukan jalan serta mengantar para Datuk dari Makasar yang datang ke Bima lewat Teluk Bima ketika pertama kali membawa Agama Islam. Lalu kuda-kuda ini berlalu diiringi irama tambur yang menderu-deru,
Disusul beberapa saat kemudian, Jara Sara’u (pasukan berkuda kerajaan) diikuti oleh pasukan tentara kerajaan lengkap dengan pakaian kebesaran prajurit memasuki halaman istana. “Kuda ini cukup tangkas,” kata Siti Maryam. Dulu, lanjutnya, kuda yang ditunggangi pasukan berkuda dan tentara kerajaan pandai menari sambil berjalan. Kuda-kuda berbadan tinggi tegap tersebut menari mengikuti irama tambur yang ditabuh bertalu-talu. Teriakan-teriakan dan hentakan semangat yang dipandu para penunggang kuda, mengundang tepuk riuh tangan penonton yang larut dalam kekaguman saat menyaksikan tradisi nenek moyangnya tersebut. Diiringi gemuruh tepuk tangan, Jara Sara’u meninggalkan arena bertanda tugasnya mengawal Uma Lige masuk halaman istana telah berakhir.
Dari pintu halaman istana, rombongan laki-laki, perempuan, anak-anak, tua dan muda, memasuki arena. “Mereka itu tamu kehormatan dalam acara tersebut,” kata Siti Maryam. Mereka adalah orang-orang keturunan Melayu yang hidup dan hingga kini menjadi bagian dari masyarakat dan adat istiadat Bima. Dalam acara tersebut, mereka mempunyai tempat tersendiri yang sudah disiapkan di bagian kiri panggung kehormatan. Di sana tertulis dengan jelas, Keluarga Melayu.

Di belakang rombongan inilah, sebuah rumah terbuka yang disebut Uma Lige yang di atasnya terdapat Penghulu Melayu dan delapan orang penari yakni empat perempuan yang menari Lenggo Mbojo dan empat laki-laki yang menari Lenggo Melayu mendampingi Sang Penghulu yang kelihatannya telah sepuh. Juga bunga dolu berjumlah 99 tangkai yang didampingi oleh bunga male. “Mereka mengantar Sirih Puan untuk diserahkan kepada Jena Teke (raja muda),” ujar Siti Maryam. Dulu, tuturnya, Uma Lige tersebut diangkat oleh ratusan orang yang berebut satu sama lain untuk memperoleh kesempatan menjadi pemanggul.
Setelah Sirih Puan diserahkan kepada Jena Teke Kesultanan Bima, Ferry Zulkarnaen, suasana riuh mulai terdengar. Dari setiap sudut panggung kebesaran, tamu undangan maupun masyarakat yang menonton serta merta menyerbu bunga dolu dan bunga male. Ratusan orang yang kebetulan mampu berada di barisan paling depan berebut mendapatkannya. “Ini simbol membagi berkah kepada rakyat,” ujar Siti Maryam. Siapa yang berhasil mendapatkan bunga dolu dalam acara rebutan tersebut, diyakini mampu membawa berkah. “Ini untuk anak saya, semoga cepat dapat jodoh,” tutur Hafsah, salah seorang ibu dengan nafas tersengal-sengal usai berdesakan dengan ratusan orang yang katanya sempat menghimpit tubuhnya hingga kesulitan bernafas. Namun ia mengaku senang dan bangga bisa menjadi salah seorang yang berhasil membawa pulang tangkai unik tersebut.

Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger