Home » , , , , » Jan Manjan: Jin dan Dewa-dewa dalam Persepsi Dou Mbojo

Jan Manjan: Jin dan Dewa-dewa dalam Persepsi Dou Mbojo


Jan Manjan diyakini oleh Suku Bima yang tinggal di daerah Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sebagai bapak dari segala bangsa jin dan dewa-dewa sekaligus yang menurunkan raja-raja Bima. Pandangan hidup ini dalam perkembangannya berpengaruh terhadap legitimasi dan kekuasaan raja-raja Bima serta kepercayaan diri Suku Bima.

1. Asal-usul
Suku Bima adalah salah satu suku yang mendiami daerah Bima di pulau Sumbawa, pulau paling timur provinsi Nusa Tenggara Barat. Letak gografis daerah Bima diliputi oleh lautan. Sebelah utara berbatasan dengan laut Flores, selatan dengan Samudera Indonesia, timur dengan Selat Sape, dan barat dengan Kabupaten Dompu.
Pada awalnya, orang asli Bima menyebut dirinya sendiri dengan sebutan orang Dou Donggo atau orang Donggo. Suku asli ini menganut kepercayaan nenek moyang yang bernama marafu. Namun, seiring perkembangan zaman, orang asli ini mulai tersisihkan dan digantikan dengan para pendatang dari Bugis, Sumbawa, dan Lombok yang menyebut diri mereka sendiri dengan sebutan Dou Mbojo atau orang Mbojo. Orang Dou Mbojo menggunakan bahasa sehari-hari yang disebut Ngahi Mbojo dan mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam (Henri Chambert-Loir, 2004, Siti Maryam R Salahudin, 2004: 99).

Sebagai sebuah suku bangsa yang pernah mendirikan sebuah kerajaan dengan kekuasaan yang bertahan cukup lama di Pulau Sumbawa, Suku Bima mempunyai pandangan hidup yang menggugah semangat untuk dikaji lebih jauh, yaitu tentang asal mula bangsa jin dan segala dewa-dewa. Kisah ini memang menggugah semangat untuk dikaji lebih jauh, karena kisah ini menggambarkan keaslian dari Suku Bima yang berkait dengan tokoh Bima dalam pewayangan Hindu. Pandangan hidup ini terangkum dalam sebuah naskah kerajaan Bima yang ditulis di Bima oleh Schoemenn, seorang sarjana Jerman pada abad 17-19 Masehi dengan bahasa Melayu (Loir, 2004).
Dalam naskah tersebut, kisah tentang jin dan dewa-dewa ini terdapat dalam naskah yang berjudul “ceritera asal mula bangsa jin dan segala dewa-dewa”, yang menjadi satu kumpulan dengan dua naskah yang lain, yaitu naskah “Hikayat Sang Bima” dan naskah “Syair Kerajaan Bima”. Naskah ini sangat langka karena naskah aslinya hingga kini masih tersimpan di Museum Berlin, Jerman. Adapun Kesultanan Bima sekarang ini hanya mendapatkan salinannya saja.

Pandangan hidup Suku Bima tentang jin dan dewa-dewa ini sangat unik karena kisahnya bercampur antara mitos pendirian wangsa-wangsa Bima dengan epik Mahabarata. Bima yang merupakan salah satu anggota dari Pandawa Lima dianggap sebagai sosok yang menurunkan raja-raja Bima. Percampuran ini membuat naskah ini sulit dimengerti namun memenuhi syarat untuk menjadi bahan kajian.
Jika melihat dari sisi keidentikan jin dan dewa-dewa dengan kajian agama, keunikan kisah ini semakin jelas. Dalam kisah ini, jin dan dewa-dewa dalam kebudayaan Bima terbentuk dalam sebuah cerita yang keduanya berasal dari tuhan dalam Islam, yaitu Allah. Tulisan naskah ini juga dimulai dengan bacaan Bismillah Ar Rahman Arrahim. Jan Manjan disinyalir juga rekaan dari bahasa Al-quran, yaitu Yajuj Majuj (Loir, 2004). Hal ini dapat dimaklumi karena naskah ini ditulis ketika Kerajaan Bima sudah berubah menjadi Kesultanan Bima yang menganut ajaran Islam akibat pengaruh dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan (Ahmad Amin, 1971, Christian Pelras, 2006).

Pandangan hidup orang Bima tentang jin dan dewa-dewa masih dipercaya oleh umumnya masyarakat Bima sekarang. Walaupun mayoritas orang Bima beragama Islam, mereka menjadikan naskah ini sebagai penguat keyakinan mereka tentang ajaran Islam. Artinya, kosmologi Islam ternyata merupakan asal dari semua jin dan dewa-dewa yang dipercaya oleh masyarakat Bima. Bahkan, jin dan dewa-dewa dipercaya pernah melakukan kawin mawin hingga menurunkan raja Bima kala itu (Loir, 2004).
Pandangan hidup Suku Bima tentang asal mula jin dan dewa-dewa ini akan dikaji (disadur) kembali, dengan merujuk pada naskah transliterasi yang disunting oleh Henri Chambert-Loir dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah (2004), terbitan Gramedia Pustaka dan Ecole Francaise dExtreme-Orient. Agar tidak menghilangkan substansi isinya, kisah ini akan disadur kembali secara garis besarnya saja.

2. Konsep Jin dan Segala Dewa-dewa
Bismillah Al Rahman al Rahim
Alkisah maka tersebutlah cerita dari setengah pendeta arif budiman yang menceritakan tentang asal bangsa jin dan segala dewa-dewa. Menurut pendeta tersebut, jin dan segala dewa-dewa adalah ciptaan Allah Subhanahu Wataala. Jin dan dewa-dewa inilah yang akan menjadi raja-raja dan menguasai bumi kelak.
Adapun awal mula yang dijadikan Allah Taala adalah bapak jin yang bernama Jan Manjan. Jan Manjan diciptakan dari ujung api yang tiada berasap, seribu tahun sebelum terciptanya Nabi Adam alaihi salam. Allah Taala selanjutnya menganugerahkan sifat Kahar kepada Jan Manjan, karena ia akan melakukan pekerjaan besar yang dititahkan oleh Allah Taala, yaitu mengelilingi dunia di luar Jabal Kaf (gunung Kaf).
Dengan takdir Allah Taala juga, Jan Manjan dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Pertama bernama Sang Hyang Tunggal, kedua bernama Sang Hyang Winaya, dan ketiga bernama Sang Hyang Jaharanang. Sang Hyang Winaya itulah nanti kelak yang akan menurunkan segala bangsa dewa-dewa. Adapun Sang Hyang Jaharanang menurunkan bangsa peri.
Berbeda dengan keduanya, Sang Hyang Tunggal kelak akan menggantikan kedudukan Jan Manjan sebagai penguasa bangsa jin dan dewa-dewa. Sang Hyang Tunggal memiliki ribuan laskar dengan panji-panji kebesaran yang megah.
Dalam perjalanan hidupnya, Sang Hyang Tunggal dikaruniai dua orang anak laki-laki yang gagah berani, yaitu Batara Indra Guru dan Sang Hyang Wawutang. Kelak pada saatnya nanti, Batara Indra Guru akan menggantikan kedudukan Sang Hyang Tunggal sebagai penguasa Jin dan dewa-dewa. Adapun Sang Hyang Wawutang kelak akan menurunkan bangsa hantu dan setan.

Batara Indra Guru juga dikaruniai dua orang anak laki-laki, yaitu yang bernama Batara Indra Brama dan seorang lagi bermata buta bernama Maharaja Loka. Kelak saat tiba waktunya, Batara Indra Brama akan menggantikan kedudukan ayahandanya Batara Indra Guru menjadi penguasa seluruh jin dan dewa-dewa yang ada di masyriq (timur) dan maghrib (barat).
Batara Indra Brama dikarunia seorang putra yang juga gagah berani, yaitu Batara Indra Manis. Batara Indra Manis juga selanjutnya memiliki seorang putra yang bernama Maharaja Indra Palasyara. Kelak pada masanya, Maharaja Indra Palasyara inilah yang akan menjadi raja daripada segala jin dan dewa-dewa di dunia ini.
Maharaja Indra Palasyara memiliki dua orang anak laki-laki, yaitu Maharaja Tunggal Pandita dan Batara Indra Ratu. Kelak pada saatnya nanti, Batara Indra Ratu dipercaya oleh ayahnya untuk menjadi raja segala jin yang ada di masyriq (timur). Batara Indra Ratu memiliki pasukan yang besar dengan senjata yang hebat dan panji-panji yang megah.  Kota masyriq adalah kota besar, diibaratkan memiliki tujuh lapis, di mana setiap lapisnya membutuhkan waktu tujuh bulan untuk mengelilinginya. Kelak Batara Indra Ratu inilah yang akan menurunkan raja-raja di kerajaan Luwu, di mana salah satunya memiliki anak bernama Sangir Gading.
Batara Indra Ratu dikaruniai dua orang anak laki-laki yang gagah berani, yaitu Begawan Basugi dan Begawan Biyasa. Kedua-duanya kelak pada saatnya nanti, akan menggantikan Batara Indra Ratu menjadi raja jin. Akan tetapi, Begawan Basugi menjadi raja jin di maghrib (barat).  Begawan Basugi juga dikaruniai seorang putri bernama Putri Julus Assyikin yang terlalu amat elok. Konon segala orang yang memandangnya rindu dendam tiadalah boleh tertanggung. 

Putri ini kelak akan diperistri oleh Sri Paduka Sultan Iskandar Zulkarnain, saudara wazir almuazam Nabi Khidir. Sultan Iskandar Zulkarnain diyakini sebagai seorang raja yang pertama kali diberi gelar sultan oleh Allah di dunia ini. Gelar tersebut dibawa oleh malaikat Jibril alalihi salam. Kelak Sultan Iskandar Zulkarnain yang akan memerangi seluruh jin di wilayah timur dan barat yang tidak mau beriman kepada Allah.  
Singkat cerita Sultan Iskandar Zulkarnain telah bersepakat dengan raja-raja di bawah perintahnya untuk menyerang kerajaan jin yang ada di maghrib, yaitu Batara Tunggal. Namun, sebelum berangkat, Sultan Iskandar Zulkarnain meminta izin dahulu kepada Nabi Khidir yang dianggap sebagai junjungannya (wakil Allah). Setelah diizinkan, keesokan harinya seluruh pasukan berkumpul dan rombongan berangkat menuju maghrib. Perjalanan menuju maghrib konon memakan waktu empat bulan.
Ternyata keberangkatan pasukan Sultan Iskandar Zulkaranain ini telah didengar oleh Batara Tunggal. Secepatnya Batara Tunggal memerintahkan menterinya yang bernama Batara Loka untuk menemui Sultan Iskandar Zulkarnain dan menanyakan apa maksud kedatangannya.
 Sebelum memasuki kota, rombongan pasukan Sultan Iskandar Zulkarnain berkemah. Ketika didatangi oleh Batara Loka dan menanyakan maksudnya, Sultan menjawab:   

Bahwa sekarang kami sekalian datang menghadap, meminta kasih junjung duli Sripaduka Raja Batara Tunggal, mudah-mudahan boleh bermufakat kedua pihak, engkau jin dengan kami manusia hendaklah raja kamu mengikut dan membawa iman kepada Allah dan kepada rasulnya, karena jin dan manusia sama juga tiada berlainan, karena firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Allah Idris: ‘dan tiadalah dijadikan Allah Taala jin dan manusia itu melainkan akan menyembah Allah jua’. Dan jikalau kiranya raja kamu Batara Tunggal tiada mau menerima dengan baik mufakatnya, maka hendaklah bersediakan dan berlengkap alat senjatamu sekalian supaya kami menyerang kota raja kamu biarlah menjadi rata semua.”

Namun, ajakan Sultan Iskandar Zulkarnain itu ditolak oleh Batara Tunggal. Raja jin itu lebih memilih berperang daripada beriman kepada Allah dan rasulnya. Akhirnya, peperangan pun tak terhindarkan. Sultan Iskandar Zulkarnain dibantu oleh laskar dan raja-raja bawahannya seperti raja Khaibar, Lahad, Kubra, Kabar, Jasa, Jasi, Bagdad, Mesir, Cina, Peranggi, Rum, Hindi, dan Hindustan. Peperangan konon berlangsung selama tujuh belas tahun dengan korban lebih banyak pada pasukan Sultan Iskandar Zulkarnain. Namun, setelah Sultan Iskandar Zulkarnain dan Nabi Khidir berdoa kepada Allah, pasukan Batara Tunggal berbalik kalah dan akhirnya menyerah.   
Setelah menyerah, sambil diiringi oleh Batara Tunggal, Sultan Iskandar Zulkarnain memasuki istana Batara Tunggal. Sejak itu, kota maghrib dikuasai oleh Sultan Iskandar Zulkarnain dan Batara Tunggal beserta pasukannya masuk ke dalam agama Nabi Nuh. Malam itu, di istana maghrib diadakan pesta meriah dengan hidangan lezat yang dihidangkan oleh jin-jin perempuan yang cantik jelita dan transparan pakaiannya sehingga terlihat lekuk-lekuk tubuhnya.
Saat itu juga, Batara Tunggal menghadiahkan salah seorang putrinya (tidak disebutkan namanya) kepada Sultan Iskandar Zulkarnain. Sultan Iskandar Zulkarnain pun tidak menolak persembahan itu. Dari perkawinan keduanya, lahirlah tiga orang anak laki-laki. Ketiga anak itu kelak saat berumur tua, semua akan menjadi raja. Anak pertama akan menjadi raja di Jepun, kedua raja di Cina dan ketiga raja di Kerajaan Andalas, negeri Minangkabau. Anak ketiga inilah yang dipercaya menurunkan orang-orang Minangkabau hingga sekarang ini.
Setelah menguasai dan menaklukkan raja jin di maghrib, Sultan Iskandar Zulkarnain bersama raja-raja lainya yaitu Batara Tunggal, raja peri yaitu Maharaja Syah Peri, Maharaja Toghan Argonu, raja dewa Maharaja Soghan Addi bermufakat untuk menyerang raja jin di masyriq, yaitu Batara Indra Ratu.

Sama seperti ketika ingin menyerang Raja Batara Tunggal, Sultan Iskandar Zulkarnain berkirim surat kepada Batara Indra Ratu bahwa dirinya ingin ke masyriq dan mengajak Batara Indra Ratu agar beriman kepada Allah dan rasulnya. Namun, jika ditolak maka Sultan Iskandar Zulkarnain terpaksa akan memeranginya. Ternyata, melalui menterinya yang bernama Johan Sogan, ajakan Sultan Iskandar Zulkarnain tersebut ditolak oleh Batara Indra Ratu. Batara Indra Ratu lebih memilih adu senjata daripada harus tunduk kepada Sultan Iskandar Zulkarnain.
Tantangan Batara Ratu disanggupi oleh Sultan Iskandar Zulkarnain. Perang pun akhirnya tidak terhindarkan. Seluruh laskar kedua belah pihak disiapkan. Genderang perang dibunyikan dengan serempak. Panji-panji kedua kerajaan dikibarkan. Laskar bergerak menuju tanah yang telah disepekati sebagai ajang untuk berperang. Perang itu berlangsung sampai sembilan tahun dengan korban yang banyak dari pasukan Sultan Iskandar Zulkarnain.
Peperangan tersebut berlangsung dengan hebat. Namun, ketika pasukan Sultan Iskandar Zulkarnain dapat masuk hingga lapis kota yang keduapuluh delapan, terlihat Batara Indra Ratu mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Sultan Iskandar Zulkarnain pun mengibarkan bendera putih sebagai tanda agar perang diakhiri. Raja jin masyriq itu menyerah dan berkata kepada Sultan Iskandar Zulkarnain:

“Ampun tuanku beribu ampun, maka tanah masyriq silakan tuan perintah”
Sultan Iskandar Zulkarnain menjawab:
“Janganlah kiranya tuan hamba minta ampun, melainkan kita sama-sama minta ampun kepada Allah. Untuk itu silakan tuan ucapkan Ashadu an la ilaha ilallah washadu ana Nuh nabi Allah.”

Sejak itu, raja jin masyriq, yaitu Maharaja Batara Indra Ratu dan seluruh laskarnya masuk ke dalam agama Nabi Nuh dan beriman kepada Allah dan rasulnya. Akhirnya, mereka bersama-sama masuk ke kota masyriq dengan suka cita. Pada malam harinya, diadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam dengan hidangan yang tidak kalah dari negeri maghrib.
Naskah ini juga menyebutkan bahwa Begawan Biyasa, raja jin yang menguasai kayangan, memiliki dua orang anak, yaitu seorang laki-laki yang bergelar Maharaja Pandu Dewanata yang kelak mengantikan ayahnya menguasai kayangan dan seorang perempuan yang bernama Nadzraja. Setelah dewasa, kedua saudara itu ternyata saling jatuh cinta. Keduanya menikah dan menurunkan lima orang anak laki-laki, yaitu Maharaja Darmawangsa, Bima, Kula, Rajuna, dan Dewa.
Dikisahkan, Bima turun dari kayangan dan pergi ke tanah Jawa. Ketika tiba di tanah Jawa, Bima berkelahi dengan Raja Maharaja Boma, yaitu raja jin di tanah Jawa. Dalam peperangan itu, Maharaja Boma dibantu oleh seorang hulubalangnya yang sakti mandraguna bernama Batara Peri, sementara Bima dibantu oleh hulubalangnya yang bernama Batara Wilmana. Keduanya bertarung sengit dengan menggunakan panah. Batara Peri terkena panah Batara Wilmana, akan tetapi kemudian Batara Wilmana sendiri mati terkena panah hulubalang Bima yang lain, yang bernama Batara Cendra. Setelah itu, perang justru berkecamuk semakin hebat. Semua laskar memasuki arena hingga banyak korban jatuh dari laskar Bima. Rajuna yang membantu Bima juga mati terkena panah Maharaja Boma.
Kabar kematian Rajuna terdengar hingga ke kayangan dan menyebabkan Maharaja Darmawangsa turun ke tanah Jawa untuk membantu saudara-saudaranya berperang melawan Maharaja Boma. Maharaja Boma kalah, lalu naik ke kayangan. Seluruh tanah Jawa akhirnya dikuasai oleh Bima dan anaknya yang bernama Katut Kaca.
Maharaja Darmawangsa bersuka cita dengan kemenangan itu. Selanjutnya, Maharaja Darmawangsa berkeliling hingga sampai ke gunung Seumawe yang berada di Pasai negeri Ace (Aceh), negeri yang sedari awal telah diislamkan oleh Allah Taala. Di atas gunung Seumawe itu, Maharaja Darmawangsa bersemedi dan membaca Al-quran. Konon, dahulu kala, rasul Allah telah mewasiatkan kepada Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali seperti berikut ini:

“Jikalau aku sudah mati, hendaklah engkau menyuruh seluruh raja jin dan manusia yang berada di atas dan di bawah angin agar masuk Islam. Maka barang siapa yang turun ke bawah angin dan turun ke gunung Seumawe di Pasai negeri Ace, hendaklah memberi hormat kepada anak raja, yaitu raja jin bernama Maharaja Darmawangsa”.

Akan tetapi, karena di zaman empat sahabat itu negeri di atas angin belum selesai diislamkan, maka mereka tidak jadi turun ke negeri bawah angin.
Dikisahkan oleh yang empunya cerita, suatu ketika Bima berjalan-jalan ke timur. Saat itu, Bima bertemu dengan anak perempuan Raja Naga yang terletak di pulau Satonda. Keduanya saling bertatapan dan ajaibnya perempuan tersebut hamil, lalu lahirlah seorang anak perempuan yang bernama Putri Indra Tasi Naga. Ketika dewasa, putri ini dinikahi oleh Bima hingga melahirkan dua orang anak laki-laki, yaitu Maharaja Indra Kemala dan Maharaja Indra Zamrut. Oleh ibunya, kedua bayi tersebut dihanyutkan ke laut hingga akhirnya terbawa ombak sampai ke negeri Dompu.
Salah seorang warga negeri Dompu yang bernama Pata Kula melihat bayi itu bercahaya seperti nyala api. Akhirnya, oleh orang-orang Dompu, bayi tersebut diasuh, dan setelah dewasa kedua bayi itu diangkat menjadi saudara. Maharaja Indra Kemala dan Maharaja Indra Zamrut memiliki kesukaan, yaitu pergi berlayar dan mengail ikan. Suatu ketika mereka berdua berlayar dan mengail ikan sampai ke negeri Bima hingga akhirnya bermukim di sana. Akhir cerita menyebutkan bahwa Maharaja Indra Zamrut menjadi raja pertama di Kerajaan Bima yang kekuasaanya mencapai Jawa, Bali, Sumbawa, Ende, Sumba, dan Manggarai. Semua kerajaan itu memberikan upeti pada Kerajaan Bima. Maharaja Indra Zamrut konon memperisteri peri yang bernama Air Te.

3. Pengaruh Sosial
Kepercayaan Suku Bima tentang asal mula jin dan segala dewa-dewa tersebut berpengaruh terhadap berbagai hal dalam kehidupan Suku Bima dan Kerajaan Bima. Pengaruh tersebut adalah sebagai berikut.
Kepercayaan terhadap asal-usul keturunan raja-raja Bima yang bermula dari jin. Seperti telah disinggung dalam kisah di atas, bahwa Bima dianggap sebagai orang yang menurunkan raja-raja Bima. Sementara itu, Bima adalah keturunan dari Begawan Biyasa, raja jin yang menguasai kayangan yang memiliki dua orang anak, yaitu seorang laki-laki yang bergelar Maharaja Pandu Dewanata yang kelak menggantikan ayahnya menguasai kayangan dan seorang perempuan yang bernama Nadzraja. Ketika besar, kedua saudara itu ternyata saling jatuh cinta, menikah dan menurunkan lima orang anak laki-laki, yaitu Maharaja Darmawangsa, Bima, Kula, Rajuna, dan Dewa.
Keyakinan akan Islam sebagai agama yang benar. Hal ini terinspirasi oleh kisah bahwa seluruh jin dan segala dewa-dewa merupakan ciptaan Allah yang pada akhirnya beriman kepada Allah dan rasulnya setelah diperangi oleh Sultan Iskandar Zulkarnain yang dibantu oleh Nabi Khidir.
Keyakinan akan kebesaran Kerajaan Bima. Keyakinan ini diperoleh dari cerita bahwa Maharaja Indra Zamrut sebagai raja pertama di kerajaan Bima kekuasaanya mencapai Jawa, Bali, Sumbawa, Ende, Sumba, dan Manggarai. Semua kerajaan itu memberikan upeti kepada kerajaan Bima. Maharaja Indra Zamrut konon memperisteri peri yang bernama Air Te. Kisah ini juga menumbuhkan keyakinan pada kerajaan Bima waktu itu dan masyarakat Bima sekarang bahwa kerajaan mereka pernah menguasai (baca: mengalahkan) Jawa yang dikenal mempunyai kerajaan besar seperti Majapahit (Loir, 2004).

Keyakinan akan kuatnya kedudukan raja Bima kala itu. Raja Bima merupakan keturunan jin dan dewa-dewa. Mitos ini tentu saja menguatkan legitimasi Raja Bima dalam memerintah rakyatnya. Legitimasi ini juga membuat rakyat Bima takut jika melawan raja.
Keyakinan bahwa kerajaan Bima harus berubah menjadi Kesultanan Bima. Sekitar abad 17 Masehi, Kerajaan Bima berubah menjadi Kesultanan Bima. Perubahan ini diakibatkan oleh pengaruh Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan yang menganut ajaran Islam (Loir, 2004). Akibat perubahan ini, Kesultanan Bima juga berubah menjadi Islam dan merumuskan hukum hadat (adat) mereka sesuai dengan ajaran Islam. Kisah tentang asal mula jin dan dewa-dewa ini sangat kental sekali nuansa Islamnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain:
pembukaan cerita memakai bacaan basmalah
menyebutkan nama Allah dan rasulnya seperti Nabi Nuh, Adam dan Khidir, di mana semua nabi tersebut merupakan nabi Islam
beberapa kali mengutip ayat-ayat Al-quran, seperti ketika Sultan Iskandar Zulkarnain menasehati Batara Indra Ratu agar beriman kepda Allah.

4. Penutup
Kepercayaan tentang asal mula jin dan segala dewa-dewa suku Bima di atas sangat menarik untuk terus dikaji. Terlepas bahwa itu adalah mitos, pandangan hidup ini dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan awal untuk mengenali kebudayaan Suku Bima dari mulai awal munculnya hingga lahirnya Kerajaan Bima dan berubah menjadi Kesultanan Bima dengan corak Islamnya. Naskah ini juga menggambarkan kepada pembaca bahwa Suku Bima sebagai salah satu suku bangsa Melayu telah mengalami perjalanan hidup yang dinamis, sehingga melahirkan kebudayaan yang unik.
Berdasarkan naskah ini, kebudayaan Suku Bima terlihat polimorfik (beragam), bukan monomorfik (seragam). Tentunya, realitas ini akan menguatkan pandangan puak-puak Melayu bahwa suku bangsa Melayu adalah suku bangsa besar yang tidak elok kiranya jika Melayu hanya diberi satu label, misalnya bahwa Melayu berarti Islam. Kisah ini semoga juga memberi semangat kepada puak-puak Melayu untuk memelihara tradisi leluhur Melayu.
Yusuf Efendi (bdy/19/03-10).

Referensi
  • Ahmad Amin, 1971. Sejarah Bima: sejarah pemerintahan dan serba-serbi kebudayaan Bima. Jilid 1. Bima: Pelestarian Naskah Bima.
  • Aliuddin Mahyudin, 1983. Surat-surat dan catatan harian Kerajaan Bima. Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
  • Christian Pelras, 2006. Manusia Bugis.  Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris.
  • Henri Chambert Loir dan Siti Maryam R. Salahudin, 1999. Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (YOI).
  • Henri Chambert-Loir, 2004. Kerajaan Bima dalam sastra dan sejarah: cerita asal bangsa jin dan segala dewa-dewa, Hikayat Sang Bima, dan Syair Kerajaan Bima. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole Francaise dExtreme-Orient.
  • Siti Maryam R. Salahuddin, 2004. Hukum adat undang-undang bandar Bima. Mataram: Lengge.

Internet
Asrarudin Hamid. Simply Bima (Kesehajaan Bima).
Yusuf Efendi. Hukum hadat tentang irigasi dan tanah Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat. 
Syarifuddin Jurdi, 2007. Islam, masyarakat madani dan demokrasi di Bima. Yogyakarta: CNBS.
Dinas Kabupaten Bima. MBOJO BERASAL DARI BISMILLLAHIRRAHMANIRRAHIM?. 
Sarwan et al., Letak Geografis.



Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger