Resensi Buku
Judul: Hukum Adat dan Undang-undang Bandar Bima
Penulis: Hj. Siti Maryam R. Salahuddin
Penerbit: Mataram, Lengge
Cetakan: Kedua, September 2004
Tebal: v + 200 halaman
Ukuran: 1,1 x 20 cm
Buku ini merupakan salah satu buku yang berusaha mengenalkan hukum "hadat" (adat) yang pernah berlaku di Kerajaan/Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat. Buku ini merupakan upaya transliterasi salah satu kerabat kerajaan yang bernama Siti Maryam R Salahuddin. Beliau adalah cucu dari Sultan Abdul Khair II, Sultan terakhir Kesultanan Bima (1951-2001).
Upaya transliterasi sangat diperlukan karena naskah hukum "hadat " Kerajaan/Kesultanan Bima ini aslinya ditulis dengan aksara Arab Jawi, dengan bahasa Melayu yang sulit untuk dipahami oleh orang Bima sekarang bahkan oleh keturunan Kerajaan Bima sendiri. Transliterasi ini ditulis dengan menggunakan pendekatan yang sangat sederhana, yaitu keinginan untuk mengungkap isi dan makna dalam naskah hukum "hadat" ini. Transliterasi dilakukan hanya pada bebarapa naskah saja. Hal ini didasarkan pada kemampuan yang ada karena memang untuk mengkaji naskah hukum "hadat" ini diperlukan waktu yang panjang.
Kerajaan Berubah Menjadi Kesultanan
Dalam sejarah disebutkan bahwa daerah Bima sebelumnya bernama "Dana Mbojo". Pada masa ini, telah muncul kerajaan-kerajaan kecil dengan kekuasaan di tangan seorang kepala kerajaan yang disebut "Ncuhi". Akan tetapi seiring perjalanan waktu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut berkumpul menjadi satu di bawah pimpinan seorang raja dengan gelar "Rumata Ma Sangaji Mbojo" yang artinya "Yang Dipertuan Kita Raja Bima". Pada masa ini, pemerintahan diatur sesuai dengan hukum "hadat" yang dikepalai oleh seorang kepala "hadat" yang disebut dengan "Raja Bicara" atau dalam bahasa daerah Bima disebut "Ruma Bicara" (bicara= adat) yang bergelar "Tureli Nggampo".
Hukum hadat Kerajaan Bima saat itu terangkum dalam sebuah naskah kerajaan yang dikenal sebagai “Bo Sangaji Kai”. Naskah ini juga telah disunting dalam sebuah buku dengan judul yang sama oleh seorang sarjana Prancis bernama Henri Chambert-Loir (2004). Pada perkembangannya, Kerajaan Bima mengalami pergolakan yang cukup dahsyat, baik akibat pertentangan dengan kolonial Belanda (VOC) maupun dengan kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Kerajaan Sumbawa, Lombok, Bali atau Gowa dari Sulawesi Selatan. Titik puncaknya adalah ketika Kerajaan Bima akhirnya jatuh dalam kekuasaan Kerajaan Gowa yang menganut ajaran Islam pada abad 16-17 Masehi.
Akibat pengaruh Islam dari Kerajaan Gowa tersebut, sistem Kerajaan Bima berganti menjadi kesultanan sehingga gelar raja berubah menjadi sultan. Akan tetapi, masyarakat masih sering menyebut raja mereka dengan bahasa daerah mereka, yaitu "Ruma Sangaji Mbojo". Perubahan juga terjadi pada azas hukum "hadat" Bima. Hukum "hadat" yang semula berazaskan tradisi leluhur Bima berubah menjadi berdasarkan kitab suci Al-quran dan hadist nabi (azas Islam). Gelar untuk kepala hadat dari "Ruma Bicara" berubah menjadi "Wazir Al Muazam". Menariknya biarpun sudah berubah menjadi kesultanan, gelar untuk kepala "hadat" tetap memakai "Raja Bicara"
Kesultanan Bima sebagai Kesultanan Besar
Di dalam buku ini terdapat tujuh naskah yang ditransliterasi, yaitu:
- Naskah tentang hukum bicara undang-undang Bandar Bima.
- Naskah tentang pasal-pasal yang berlaku di daerah wilayah Manggarai
- Naskah tentang pembaharuan perjanjian dan persumpahan almarhum Sultan Abdul Kahir dengan keturunan bangsa Melayu
- Naskah tentang peraturan pelayanan tentang kecelakaan dan izin
- Naskah tentang pasal-pasal dari perjanjian dengan Admiral Speelman pada tahun 1669
- Naskah tentang hukum bicara yang menetapkan kembali hukum agama Islam dan hukum hadat tanah Bima yang diberlakukan oleh sultan Abdul Kahir
- Naskah tentang irigasi di Bima (hadat Bima)
Letak gografis daerah Bima meliputi:
- Sebelah utara Bima berbatasan dengan laut Flores,
- Selatan dengan Samudera Indonesia,
- Timur dengan Selat Sape, dan
- Barat dengan Kabupaten Dompu.
Posisi yang strategis ini menguntungkan Kesultanan Bima. Perairan tersebut digunakan sebagai jalur pelayaran perdagangan laut, baik yang dilakukan oleh pelaut nusantara maupun dari luar nusantara. Latar belakang sejarah inilah tampaknya yang ingin diungkap oleh buku ini dan menjadi salah satu alasan bahwa Kesultanan Bima merupakan kesultanan besar waktu itu, yang memiliki kekuasaan luas hingga Flores dan hampir seluruh pulau Sumbawa
Kebesaran Kesultanan Bima disebabakan oleh adanya jalur pelayaran yang memungkinkannya untuk berhubungan dengan kerajaan-kerajaan lain serta menjadi areal keluar masuk bangsa lain. Kesultanan Bima sangat sibuk dan ramai pada masa itu. Maka dari itu pihak kesultanan perlu membuat hukum "hadat" yang dapat mengatur kehidupan rakyatnya dan bangsa lain yang masuk ke Bima. Jejak-jejak itu tampak dalam hukum "hadat" yang ditransliterasi ini (hal 7-69).
Para pengkaji sejarah dan budaya nusantara dianjurkan untuk membaca buku ini karena mereka tentu akan mendapatkan informasi yang penting tentang dinamika kehidupan rakyat dan Kerajaan Bima zaman dahulu. Satu hal yang menjadi kelemahan buku ini adalah bahasa transliterasi yang justru membingungkan. Hal ini tampaknya disebabkan oleh transliterator yang sulit menemukan maksud dari tulisan naskah aslinya. Untuk itu, pembaca perlu berhati-hati, bahkan jika diperlukan pembaca mengedit secara langsung bahasa transliterator dengan menghubungkan konteks yang ada dan membaca sejarah Kesultanan Bima.
Kelemahan ini tampaknya disadari oleh transliterator. Maka dari itu dalam buku ini juga dibahas secara singkat tentang Kesultanan Bima dari sisi sejarah, sistem pemerintahan, kependudukan, kondisi sosial ekonomi, perdagangan, dan perkembangan selanjutnya yang dialami oleh Kesultanan Bima. Terlepas dari kelemahan yang ada, buku ini cukup bermanfaat untuk dijadikan sebagai bahan kajian tentang hukum "hadat" Kesultanan Bima, sebuah kesultanan Melayu yang pernah berkuasa di bagian timur nusantara.
Yusuf Efendi
Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re