Oleh Gery Sulaksono
’’Bagaimana mungkin kita menjadi nasionalis kalau kita tidak mengetahui keindahan Indonesia dengan mata kepala sendiri.’’
(Soe Hok Gie)
KEMENTERIAN Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia mencanangkan ’’Wonderful Indonesia’’ sebagai branding pariwisata 2011, menggantikan branding lama ’’Visit Indonesia’’ (2010). Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menetapkan target kunjungann wisman tahun 2011 sebesar 7,3 juta sebagai target pesimis dan 7,7 juta sebagai target optimis.
Kekayaan potensi wisata Indonesia dengan 33 provinsi, 17.504 pulau besar dan kecil, 726 bahasa daerah, 300-an kelompok etnik atau suku bangsa yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, menjadi modal untuk mempromosikan branding ’’Wonderful Indonesia’’ ke mancanegara. Untuk menunjang program Kemdikpar, semua pihak (tak terkecuali mahasiswa) diharapkan ikut serta menyukseskan visi pariwisata tersebut.
Segenderang sepenarian, cara bagaimana mahasiswa terlibat dalam program pemerintah di atas akan menjadi indikasi pemaknaan mahasiswa terhadap arti nasionalisme. Menjadi nasionalis tentu tidak melulu mengikuti upacara, mengerek bendera di depan rumah, berbaju batik dan sebagainya. Namun dapat di tuangkan dalam ruang-ruang musik, ekonomi kreatif, film indie, kewirausahaan sosial, backpacking keliling Indonesia dan sebagainya. Dengan kata lain, mahasiswa dapat ’’menjadi Indonesia’’ dengan cara yang lebih kreatif dan dalam bentuk yang lebih cair.
Nasionalisme Kreatif
Dalam kerangka pemahaman yang fleksibel itu, saya menawarkan mahasiswa untuk menjadi nasionalis dengan cara backpacker. Menjadi backpacker, adalah cara yang bisa dilakukan untuk dapat berkeliling Indonesia, bahkan dunia, tanpa menguras kocek terlalu dalam.
Mahasiswa yang mayoritas belum mempunyai kemandirian ekonomi secara penuh tentu akan mempertimbangkan biaya (cost) jika akan mengadopsi gagasan jelajah Indonesia. Namun, kegalauan tersebut harus ditepis, karena backpacker merupakan aktivitas perjalanan yang menitikberatkan pada penekanan biaya (low cost traveller).
Spirit backpacker tidak lepas dari definisinya, backpacker is a term that has historically been used to denote a form of low-cost, independent international travel. Terms such as independent travel and/or budget travel are often used interchangeably with backpacking (Wikipedia).
Backpacker adalah cara untuk mengenal budaya masyarakat lain, baik di dalam negeri maupun di luar Indonesia. Dengan backpacker, mahasiswa lebih luwes dalam melakukan perjalanan karena tidak terikat aturan-aturan seperti jika sedang dalam suatu group tour, event organizer, travel agent dengan biaya yang mahal.
Backpacker bukan aktivitas yang mahal, faktanya hanya dengan 900 ribu rupiah sudah bisa melintasi Bali, Lombok, Sumbawa, Pulau Moyo, Flores, hingga ke Pulau Komodo dalam waktu tiga minggu. Kisah itu dibuktikan oleh dua mahasiswa, Ayos Purwoaji dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan Nuran Wibisono dari Universitas Jember. Dua mahasiswa tersebut telah memberikan inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk mencintai Indonesia dengan bekal kemauan dan biaya yang ringan.
Simak misalnya, report journey mereka dalam Alone Longway From Home: Catatan Perjalanan Menyusuri Daratan Jawa Hingga Flores (2010), ’’backpacker bukan sekadar masalah uang. Uang adalah nomor terakhir kalau menyangkut backpacker. Kemauan adalah faktor yang paling utama.’’
Perjalanan tersebut mereka publikasikan dalam bentuk e-book di blog. Spirit mereka adalah menghadirkan nuansa dan khazanah Indonesia lebih dekat.
Seiring perjalanan waktu, dewasa ini telah banyak program-progam wisata ala backpacker di televisi. Bahkan tak jarang diikuti juga dengan munculnya komunitas backpacker, seperti di Jogjakarta ada CLR (Comunity of Lampah-Lampah Rajelas), Semarang Backpacker, Couchsurfing, Backpacker Indonesia, dan lain-lain.
Mahasiswa yang akan menjadi seorang backpacker harus menentukan tempat destinasi yang akan dikunjungi dan bertanggungjawab penuh pada keseluruhan itinerary perjalanannya. Pelajari benar, kondisi medan yang akan dikunjungi, termasuk bagaimana kondisi cuaca dan iklim di tempat tujuan. Semua rencana itu disusun sebelumnya dengan banyak menggali data serta survei yang mendalam. Secara teknis, informasi harus mencakup pertanyaan seperti how to get there, where to stay, where to eat atau travel guide.
Informasi dan pengetahuan backpacker bisa diperoleh melalui laman backpacker, buku seperti Lonely Planet, ’’Selimut Debu’’ (Agus Wibowo), ’’Backpacking Hemat ke Australia’’ (Ellok Dyah Messwati), ’’Riding the Iron Rooster’’ (Paul Theroux), ’’The Naked Traveller’’ (Trinity), ’’Lost Horizon’’ (James Hilton). Majalah, National Geographic, Infobackpacker.
Untuk menambah inspirasi, mahasiswa dapat melihat film The Darjeeling Limited (2007), The Beach (2006) The Motorcycle Diaries (2004), Lost In Translation (2003), The Quite American (2002), Seven Years in Tibet (1997), Indiana Jones: Raiders of the Lost Ark (1981).
Untuk modal perjalanan, mahasiswa bisa mendapatkannya melalui usaha mandiri, misalnya dari honor tulisan di berbagai media, menerjemahkan teks lintas bahasa, memberi kursus mata pelajaran anak SD/SMP, atau usaha lain yang bersifat entrepreunership.
Akhirnya, pendidikan karakter yang digadang-gadang oleh Menteri Pendidikan Nasional tidak akan terwujud tanpa terobosan dari kampus. Backpacker merupakan sebuah pijakan pemikiran yang diharapkan dapat membangun karakter anak bangsa (national and the character building), serta membangun kesadaran multikultural di kalangan mahasiswa. Jadi tunggu apalagi, let’s pack your backpack! (suaramerdeka)
Gery Sulaksono SSos, alumnus Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Kekayaan potensi wisata Indonesia dengan 33 provinsi, 17.504 pulau besar dan kecil, 726 bahasa daerah, 300-an kelompok etnik atau suku bangsa yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, menjadi modal untuk mempromosikan branding ’’Wonderful Indonesia’’ ke mancanegara. Untuk menunjang program Kemdikpar, semua pihak (tak terkecuali mahasiswa) diharapkan ikut serta menyukseskan visi pariwisata tersebut.
Segenderang sepenarian, cara bagaimana mahasiswa terlibat dalam program pemerintah di atas akan menjadi indikasi pemaknaan mahasiswa terhadap arti nasionalisme. Menjadi nasionalis tentu tidak melulu mengikuti upacara, mengerek bendera di depan rumah, berbaju batik dan sebagainya. Namun dapat di tuangkan dalam ruang-ruang musik, ekonomi kreatif, film indie, kewirausahaan sosial, backpacking keliling Indonesia dan sebagainya. Dengan kata lain, mahasiswa dapat ’’menjadi Indonesia’’ dengan cara yang lebih kreatif dan dalam bentuk yang lebih cair.
Nasionalisme Kreatif
Dalam kerangka pemahaman yang fleksibel itu, saya menawarkan mahasiswa untuk menjadi nasionalis dengan cara backpacker. Menjadi backpacker, adalah cara yang bisa dilakukan untuk dapat berkeliling Indonesia, bahkan dunia, tanpa menguras kocek terlalu dalam.
Mahasiswa yang mayoritas belum mempunyai kemandirian ekonomi secara penuh tentu akan mempertimbangkan biaya (cost) jika akan mengadopsi gagasan jelajah Indonesia. Namun, kegalauan tersebut harus ditepis, karena backpacker merupakan aktivitas perjalanan yang menitikberatkan pada penekanan biaya (low cost traveller).
Spirit backpacker tidak lepas dari definisinya, backpacker is a term that has historically been used to denote a form of low-cost, independent international travel. Terms such as independent travel and/or budget travel are often used interchangeably with backpacking (Wikipedia).
Backpacker adalah cara untuk mengenal budaya masyarakat lain, baik di dalam negeri maupun di luar Indonesia. Dengan backpacker, mahasiswa lebih luwes dalam melakukan perjalanan karena tidak terikat aturan-aturan seperti jika sedang dalam suatu group tour, event organizer, travel agent dengan biaya yang mahal.
Backpacker bukan aktivitas yang mahal, faktanya hanya dengan 900 ribu rupiah sudah bisa melintasi Bali, Lombok, Sumbawa, Pulau Moyo, Flores, hingga ke Pulau Komodo dalam waktu tiga minggu. Kisah itu dibuktikan oleh dua mahasiswa, Ayos Purwoaji dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan Nuran Wibisono dari Universitas Jember. Dua mahasiswa tersebut telah memberikan inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk mencintai Indonesia dengan bekal kemauan dan biaya yang ringan.
Simak misalnya, report journey mereka dalam Alone Longway From Home: Catatan Perjalanan Menyusuri Daratan Jawa Hingga Flores (2010), ’’backpacker bukan sekadar masalah uang. Uang adalah nomor terakhir kalau menyangkut backpacker. Kemauan adalah faktor yang paling utama.’’
Perjalanan tersebut mereka publikasikan dalam bentuk e-book di blog. Spirit mereka adalah menghadirkan nuansa dan khazanah Indonesia lebih dekat.
Seiring perjalanan waktu, dewasa ini telah banyak program-progam wisata ala backpacker di televisi. Bahkan tak jarang diikuti juga dengan munculnya komunitas backpacker, seperti di Jogjakarta ada CLR (Comunity of Lampah-Lampah Rajelas), Semarang Backpacker, Couchsurfing, Backpacker Indonesia, dan lain-lain.
Mahasiswa yang akan menjadi seorang backpacker harus menentukan tempat destinasi yang akan dikunjungi dan bertanggungjawab penuh pada keseluruhan itinerary perjalanannya. Pelajari benar, kondisi medan yang akan dikunjungi, termasuk bagaimana kondisi cuaca dan iklim di tempat tujuan. Semua rencana itu disusun sebelumnya dengan banyak menggali data serta survei yang mendalam. Secara teknis, informasi harus mencakup pertanyaan seperti how to get there, where to stay, where to eat atau travel guide.
Informasi dan pengetahuan backpacker bisa diperoleh melalui laman backpacker, buku seperti Lonely Planet, ’’Selimut Debu’’ (Agus Wibowo), ’’Backpacking Hemat ke Australia’’ (Ellok Dyah Messwati), ’’Riding the Iron Rooster’’ (Paul Theroux), ’’The Naked Traveller’’ (Trinity), ’’Lost Horizon’’ (James Hilton). Majalah, National Geographic, Infobackpacker.
Untuk menambah inspirasi, mahasiswa dapat melihat film The Darjeeling Limited (2007), The Beach (2006) The Motorcycle Diaries (2004), Lost In Translation (2003), The Quite American (2002), Seven Years in Tibet (1997), Indiana Jones: Raiders of the Lost Ark (1981).
Untuk modal perjalanan, mahasiswa bisa mendapatkannya melalui usaha mandiri, misalnya dari honor tulisan di berbagai media, menerjemahkan teks lintas bahasa, memberi kursus mata pelajaran anak SD/SMP, atau usaha lain yang bersifat entrepreunership.
Akhirnya, pendidikan karakter yang digadang-gadang oleh Menteri Pendidikan Nasional tidak akan terwujud tanpa terobosan dari kampus. Backpacker merupakan sebuah pijakan pemikiran yang diharapkan dapat membangun karakter anak bangsa (national and the character building), serta membangun kesadaran multikultural di kalangan mahasiswa. Jadi tunggu apalagi, let’s pack your backpack! (suaramerdeka)
Gery Sulaksono SSos, alumnus Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re