Home » , » Tambora, Napoleon & The Lost 3 Kingdom

Tambora, Napoleon & The Lost 3 Kingdom

Siapa tak kenal Napoleon Bonaparte, Si-Kaisar penakhluk dari Perancis itu? Kisah hidupnya memang sangat fenomenal. Lahir di kota Ajaccio, Korsika, pada
tanggal 15 Agustus 1769, konon Ia menjadi siswa di Akademi Militer Brienne pada usia 10 tahun, dan karena kecerdasannya ia lulus pada usia 15 tahun. Ia dikenal sebagai seorang pemberani dan ahli strategi yang sangat brilian. Kecakapannya dalam diplomasi juga tak

diragukan lagi. Berbagai pertempuran pernah ia lewati, hingga nasib mengantarkannya menjadi seorang Kaisar Perancis dan penakhluk dunia paling dikenal sepanjang masa. Kekuasaannya membentang sepanjang Afrika Utara hingga hampir seluruh daratan Eropa.




Sejarah mencatat, memang tak semua pertempuran ia menangkan. Ketika menyerang Rusia, pasukan Napoleon terjebak di Moskow. Melihat peluang itu, Austria dan Prusia bersigegas menyergap Napoleon. Pertempuran hebatpun berkobar. Oktober 1813 pasukannya kalah. Ia ditangkap di kota Leipzig pada oktober 1813 dan dibuang ke pulau Elba. Tapi riwayat Napoleon belum tamat. Ia berhasil lolos dari Elba lalu kembali ke Perancis. Setelah ia berkuasa kembali, iapun mencanangkan perang melawan kekuatan Inggris dan Austria yang bersekutu untuk menghancurkannya. Dengan pongahnya iapun sesumbar bahwa perang itu akan dimenangkannya hanya dalam waktu 100 hari.

Perangpun berkecamuk dengan hebatnya. 18 Juni 1815, hari itu mungkin menjadi saat yang paling disesali Napoleon Bonaparte sepanjang hidupnya. Menjelang matahari tenggelam pada hari itu, Napoleon dan bala tentaranya terjepit pasukan Inggris dan Prussia di Waterloo, sebuah dataran rendah di kawasan Belgia. Pada pagi hari sebelumnya, Napoleon memutuskan mengundurkan rencana serangan yang telah ia persiapkan karena cuaca yang memburuk. Salju tebal menutupi seluruh permukaan tanah. Ia berharap pada tengah hari cuaca buruk itu akan segera lewat dan pertempuran bisa dimulai.
Namun, penguasa Prancis itu salah. Cuaca justru semakin memburuk. Banyak pasukannya yang mengalami radang dingin dan bahaya kelaparan. Beberapa orang dikabarkan membakar sepatu mereka untuk menghangatkan diri. Napoleonpun gagal menghimpun pasukannya tepat waktu. Konsolidasi pasukan musuh lebih cepat. Saat pertempuran berlangsung, kereta-kereta penghela meriam Napoleon terjebak lumpur karena tanah masih diliputi salju. Iapun menyerah dan diasingkan oleh sekutu.
Kekalahan Napoleon di Waterloo membuat peta politik dunia berubah. Perancis yang sebelumnya menjadi salah satu negara adi daya dengan kekuatan yang sangat luas, berubah menjadi negara dengan wilayah kekuasaan yang lebih sempit, lebih kecil jika dibandingkan wilayah Perancis saat meletusnya Revolusi Perancis.
Banyak pakar berteori tentang kekalahan Napoleon tersebut. Satu hal yang tak bisa dipungkiri, “Perang 100 Hari” yang telah disiapkan Napoleon itu justru gagal karena satu hal yang tak pernah diduganya: cuaca buruk. Kenneth Spink, seorang pakar geologi, membuat sebuah “teori” yang cukup controversial, ia menyebut kekalahan Napoleon itu merupakan akibat letusan sebuah gunung bernama Tamboro in Sumbava. Dalam sebuah pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick Inggris pada 1996, Spink mengatakan letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk waterloo pada tahun 1815.
Letusan Tambora yang terjadi pada hari-hari di bulan April 1815 itu memang sangat dasyat. Letusan Tambora diperkirakan empat kali lipat lebih dahsyat dari letusan Gunung Krakatau dan enam juta kali letusan bom atom di Hiroshima. Letusan terdengar sejauh 2500 kilometer, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1300 kilometer. Debu vulkanis yang disemburkan Tambora menyelimuti permukaan laut, abu pekat tersebut “berkeliling dunia” sepanjang tahun
membuat sinar matahari tertutup. Pola cuaca duniapun jungkir balik. Di bulan Juli 1815, bulan yang seharusnya menjadi puncak musim kemarau itu, di Eropa barat, Amerika dan Kanada justru berhembus udara beku yang mematikan.Di New England, AS, salju turun, Sungai es terlihat di Pennsylvania. Ratusan ribu orang meninggal karena kelaparan di seluruh dunia. Duniapun mengenang tahun 1816 sebagai “tahun tanpa musim panas”. Dan di dalam artikel Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermaths, Bernice de Jong Boers menyebut pula letusan Tambora sebagai pemicu pecahnya epidemik kolera pertama ke dunia.
"Duniapun mencatat, bahwa letusan Tambora merupakan erupsi gunung berapi terbesar sepanjang sejarah peradaban modern."



Tambora dan Awan Hitam Peradaban

Mengaitkan Tambora dan kekalahan Napoleon Bonaparte mungkin sesuatu yang seksi untuk dibicarakan. Tetapi tidak banyak yang tahu, apalagi peduli bahwa letusan Tambora pada hari-hari di bulan April 1815 itu juga menimbun 2 kerajaan di sekitar gunung Tambora, yakni kerajaan Pekat dan Tambora. Adapula yang menyebutnya 3 dengan menambahkan kerajaan Sanggar. Tak ada yang selamat dalam kiamat itu, seluiruh penduduk kerajaan-kerajaan itu tewas tertimbun abu Tambora. Sejarah kemudian hanya mencatat melaluiperkiraan angka-angka bahwa letusan itu telah menewaskan 100.000 penduduk pulau Sumbawa atau 1/3 penghuni pulau ini.


Tak banyak cacatan lainnya tentang ketiga kerajaan itu yang bisa diungkap, kecuali dari catatan kerajaan Bima yang berada di sebelah timur jauh Tambora. Dalam naskah Bo’o Sangaji Kai, yang di sunting olehChambert-Loir itu disebutkan terjadi hujan abu selama dua hari tiga malam disusul bunyi meriam yang rupanya menandai keruntuhan kawah, disusul hujan pasir dan gelombang pasang (tsunami). Dalam naskah tersebut juga disebutkan bahwa masyarakat Bima menyangka bencana yang menimpa kerajaan mereka itu akibat tindakan jahat Sultan Tambora, Abdul Gafur, yang mengirimkan semacam sihir ke negeri mereka. Dalam naskah tersebut juga diceritakan bahwa malapetaka itu berakhir setelah orang-orang bersembahyang. Tetapi kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tidak bisa diatasi. Banyak orang mati karena makan daun ubiberacun. Mereka bergeletakan di jalan, tak dikubur, tidak disembahyangkan. Mayatnya menjadi mangsa burung, dimakan babi dan anjing.

Mereka sedikit tertolong oleh kedatangan para pedagang dari luar pulau Sumbawa yang membawa beras, gula, susu, jagung dan kacang kedelai yang ditukarnya dengan piring, mangkok, kain tenunan, senjata, emas, perak, sirih, gambir, dan budak. Seandainya tidak datang pedagang dari Sulawesi, Maluku, bahkan orang Arab, Cina, dan Belanda, mungkin penduduk Pulau Sumbawa, khususnya di Kerajaan Bima yang letaknya tidak begitu jauh dari Tambora itu akan habis, mati kelaparan.

Kita hanya bisa membayangkan betapa dasyatnya bencana itu. Selama berhari-hari bumi bergoncang, Awan hitam yang disertai kilatan dan suara
halilintar membumbung tinggi keangkasa hingga mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km dan membentang hingga jarak 600 km. Bahkan menurut catatan Sir Thommas Stanford Raffles yang menjadi gubernur jendral Hindia Belanda di Batavia saat itu, mereka mengira terjadi penyerbuan besar-besaran. Iapun mengerahkan pasukan dari Djocjocarta untuk memberi bantuan pos militer terdekat. Letnan Philips yang diperintahkan Sir Stamford Raffles untuk pergi ke Sumbawa pun melaporkan :
Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.”
Sejak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.” Tambahnya.
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan diameter melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkuta India pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815. Laporan lain menyebutkan penemuan seonggok mayat di ” rakit” batu apung atau atol berjalan (Limung dalam bahasa Sumbawa) yang terdampar ke pantai Afrika setahun setelah letusan dasyat itu. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan atau lima tahun sebelum meletusnya perang Diponegoro yang membangkrutkan VOC di Jawa.
Situs Tambora dan Masa depan Peradaban kita
Dua ratus tahun setelah letusan itu tetap saja sejarah berdiam diri mengenai nasib negeri-negeri tersebut.Apakah karena nama Tambora yang konon berasal dari dua kata yakni “ta” dan “mbora” yang bermakna “ajakan menghilang” maka sejarah merekapun patut hilang? Baru dua abad berlalu, dan kita sepertinya mulai pikun membaca sejarah bangsa. Di sekitar gunung Tambora yang pernah menjadi gunung tertinggi di Indonesia sebelum letusan itu kini hanya membentang sebuah kawah kaldera terluas di Indonesia dan bukit-bukit serta hamparan luas padang savanna yang membisu.
Penemuan-penemuan mengejutkan justru didapat dari para penduduk sekitar Tambora. Di bekas hutan yang telah digunduli oleh salah satu pemegang HPH dan beroperasi sejak akhir tahun 1980-an itu, para penduduk yang menempati lahan di atasnya sering menemukan barang pecah belah berupa keramik-keramik kuno buatan Tiongkok dan barang-barang perabotan rumah tangga lainnya serta kerangka manusia yang telah gosong.
Adapula beberapa perhiasan dari emas seperti gelang, kalung dan liontin berbentuk mandala serta senjata seperti keris dan mata tombak.
Serangkaian penelitian sebenarnya juga pernah dilakukan oleh para peneliti dari dalam maupun luar negeri. Pada tahun 2004, tim dari Universitas Rhode Island, Universitas North Carolina di Wilmington, dan direktorat vulkanologi Indonesia, dipimpin oleh Haraldur Sigurdsson, memulai sebuah penggalian arkeologi di gunung Tambora. Setelah enam minggu, tim tersebut menggali bukti adanya kebudayaan yang hilang yang musnah karena letusan gunung Tambora. Situs tersebut terletak 25 km sebelah barat kaldera, di dalam hutam, 5 km dari pantai. Tim tersebut harus melewati endapan batu apung vulkanik dan abu dengan tebal 3 m.
Beberapa penemuan penting di Tambora
Tim tersebut menggunakan radar penembus tanah untuk mencari lokasi rumah kecil yang terkubur. Mereka menggali kembali rumah dan mereka menemukan sisa dua orang dewasa, dan juga mangkuk perunggu, peralatan besi dan artefak lainnya. Desain dan dekorasi artifak memiliki kesamaan dengan artifak dari Vietnam dan Kamboja. Uji coba dilakukan menggunakan teknik karbonisasi memperjelas bahwa mereka terbentuk dari pensil arang yang dibentuk oleh panas magma. Semua orang, rumah dan kebudayaan dibiarkan seperti saat mereka berada tahun 1815. Sigurdsson menyebut kebudayaan ini sebagai Pompeii dari timur. Berdasarkan artefak yang ditemukan, yang mayoritas benda perunggu, tim menyatakan bahwa orang-orang tersebut tidak miskin. Bukti sejarah menunjukan bahwa orang di pulau Sumbawa terkenal di Hindia Timur untuk madu, kuda, kayu sepang (caesalpinia sappan), memproduksi dye merah, dan cendana yang digunakan untuk dupa dan pengobatan. Daerah ini diketahui cukup produktif dalam bidang pertanian.
Pertanyaannya adalah, kenapa sedikit sekali catatan tentang tentang kehidupan masyarakat, adapt istiadat atau kebudayaan ketiga kerajaan tersebut? Letak kerajaan Pekat diperkirakan berada di kabupaten Dompu sekitar 30 kilometer arah barat gunung Tambora yang sebenarnya terlindung bukit tua dan Kerajaan Sanggar di Bima sekitar 35 kilometer dari puncak Tambora. Sedangkan Kerajaan Tambora di sebelah timur gunung Tambora di tepi pantai tidak jauh dari Sanggar, tersembunyi di balik gunung Labumbu.Akibat letusan, tersisa dua jiwa manusia di Pekat, sedangkan di kerajaan Tambora hanya seorang yang selamat. Mereka yang selamat ini berdasarkan temuan peneliti asal Belanda yang dikutip Heryadi Rachmat, kemungkinan seperti yang ditemukan di Eropah, waktu itu sedang berada di dalam lubang tahanan saat terjadinya letusan.
Menurut Dr. Indyono Pratomo, seorang geologis yang meneliti situs Tambora menyatakan bahwa penemuan situs Tambora ini memang tidak akan se-prestisius di Pompeii, sebuah kota pada zaman Romawi kuno didekat Napoli yang terkubur oleh letusan Gunung Vesivius pada tanggal 24 Agustus tahun 79 Masehi. Pasalnya di kota Pompeii bangunan-bangunan disana menggunakan batu sehingga tatanan sebuah kota atau peradaban bisa terlihat dengan jelas ketika dilakukan penggalian untuk restorasi arkeologis. Sementara Letusan Tambora yang diperkirakan jauh lebih dasyat dari G. Vesevius menghanguskan seluruh bangunan kota dan rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu.
Letusan Tambora memang menyisakan banyak misteri. Prestisius atau tidak sudah saatnya kita mengupayakan agar Kawasan Gunung Tambora dan sekitarnya mendapat perhatian lebih. Keberadaam situs tambora secara geologis sangatlah penting, terutama untuk insane akademis yang mempelajari aktivitas kegunung apian. Apalagi Indonesia yang memiliki lebih dari 140 gunung berapi ter-aktif di dunia dan menjadi kawasan atau Negara paling rawan bencana alam di seluruh dunia itu tentu perlu belajar banyak dari letusan Tambora di masa lalu. Keindahan alam, serta keunikan habitat flora-fauna juga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para ilmuwan maupun pelancong, disamping hal-hal yang bersifat geologis dan arkeologis
Wakil Gubernur NTB, Ir. Badrul Munir, MM menyatakan Pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat beberapa bulan ke depan akan menggelar serangkaian kegiatan untuk memperingati 200 tahun meletusnya Tambora. Kegiatan yang meliputi ekspedisi Tambora, Temu karya ahli kegunung apian dunia, Pameran foto gunung tambora, tempoe dulu dan kini, Ekspo Tambora dan Kegunungapian dunia, Refleksi Tambora memorial, dll serta kegiatan kemasyarakatan tersebut diperkirakan akan diikuti oleh sekitar 2000 peserta dari berbagai negara, terutama Eropa yang terkena dampak letusan. Kita layak berharap bahwa kawasan tambora dengan segala keunikannya itu akan ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO.
“Paling tidak untuk sementara ini kita akan meminta Keppres agar Tambora ini menjadi Kawasan yang di lindungi,” kata Wagub NTB.
Lingkungan alam kawasan Tambora juga harus dijaga dari pengerusakan seperti penebangan legal maupun liar, serta aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak alam. Pengembangan kawasan Tambora sebagaisitus warisan peninggalan dunia tentu akan memberi dampak positif bagi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat di NTB dan dilingkar Gunung Tambora. Bukan saja dampak secara ekonomis karena akan bayak wisatawan yang datang, terlebih masyarakat pulau Sumbawa khususnya, akan lebih memahami tentang akar budaya dan sejarah mereka.
Penetapan kawasan G. Tambora sebagai Situs warisan peninggalan dunia
juga memiliki makna peringatan ;
Bahwa di kawasan ini pernah terkubur ribuan orang

dari 3 Kerajaan. SEMOGA MENJADI HUMUS 

BAGI MASA DEPAN PERADABAN YANG LEBIH BAIK!


SEMOGA.



Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger