Home » , » Pamali Manggodo, Upacara Buka Lahan di Desa Sambori

Pamali Manggodo, Upacara Buka Lahan di Desa Sambori


Setiap peristiwa-peristiwa penting selalu diikuti dengan serangkaian upacara. Seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan pertanian. Sebelum membuka ladang, dilakukan upacara khusus dilahan yang akan dibuka untuk meminta agar tanaman ladang mereka tidak diserang wabah, seperti ulat, tikus, burung, babi, dan sebagainya. Mengawali musim tanam, penduduk biasanya melakukan “kunjungan” di parafu untuk meminta ijin melakukan kegiatan di ladang. Pada saat panenpun mereka melakukan upacara sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang mereka peroleh. 
Upacara panen di Sambori disebut Pamali Manggodo yang hingga saat ini masih dilakukan oleh penduduk. Sebelum penyelenggaraan Pamali Manggodo, beberapa tokoh masyarakat melakukan kesepakatan mengenai rencana dan penetapan waktu upacara. Tokoh adat yang memimpin Pamali Manggodo disebut Panggawa. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan pada Upacara Pamali Manggodo. Pamali Manggodo diawali dengan upacara sore, yaitu upacara pembakaran ilalang dan semak-semak disebuah tempat yang telah ditetapkan dengan perangkat sesajen. Upacara sore dipimpin oleh panggita. Upacara sore diyakini dapat melihat curah hujan pada musim tanam. Apabila ilalang dan semak yang terbakar banyak, mereka percaya pada musim tanam tersebut curah hujan akan melimpah, dan begitu pula sebaliknya. 
Upacara Pamali Manggodo juga diikuti oleh beberapa tokoh adat yang memiliki tugas masing-masing untuk memimpin upacara tolak bala (ngaha ncore). Diantaranya adalah Pamali Lawo Lanco yang memimpin tolak bala hama tikus dan Pamali Kari’i memimpin tolak bala burung pipit.
Prosesi Upacara Pamali Manggodo selanjutnya adalah kegiatan berburu yang dipimpin oleh Pamali Lawo yang diikuti oleh anggota masyarakat. Mereka pergi ke hutan berburu rusa selama tiga hari berturut –turut. Mereka secara bersama-sama berburu dengan bekal ketupat. Selama berburu mereka tidak diperbolehkan membuang bungkus ketupat. Bungkus-bungkus ketupat akan dikumpulkan dalam jurang (keranjang) yang dibawa oleh Pamali Lawo. Selama Upacara Pamali Manggodo tidak seorangpun diperbolehkan untuk malakukan kegiatan atau berada di sawah. Jika warga masyarakat melanggar ketentuan akan didenda seekor ayam dan gabah satu ganta. Dan upacara dianggap tidak syah serta harus diulang. Bersamaan dengan itu, warga masyarakat juga dilarang membuat suara gaduh atau suara lain yang mengganggu riulitas upacara.
Setelah upacara tolak bala usai, tibalah waktunya membagi-bagikan semua hasil buruan kepada seluruh warga masyarakat di rumah Pamali Lawo. Penduduk datang ke rumah Pamali Lawo dengan membawa sewa (tempurung kelapa) untuk meminta daging hewan buruan untuk dibawa pulang. Untuk mengatur pembagian, setiap warga yang ingin mendapatkan bagian menyerahkan potongan bambu kecil kepada Pamali Lawo.
Sebagai penutup Upacara Pamali Manggodo, Pamali Lawo akan membuat ramuan obat penangkal hama dari bungkus ketupat yang dikumpulkan selama melakukan perburuan. Dengan disertai doa-doa, bungkus ketupat dibakar dan abunya dibagi-bagikan kepada semua warga masyarakat sebagi obat tolak bala dengan cara menaburkan di sawah masing-masing sekaligus untuk menandai dimulainya masa tanam.
Prosesi Upacara Pamali Manggodo lainnya adalah upacara tolak bala burung pipit. Upacara ini dipimpin oleh Pamali Kari’i dengan perangkat sesajen yang bertujuan untuk mengusir hama burung pipit. Prasesi ini juga diikuti oleh tembang-tembang asli Sambori, Beleleha. Tembang ini hanya dilantunkan kaum perempuan. Dengan demikian tembang Belelha merupakan lagu sakral. Tembang Belelha juga digunakan untuk upacara jika terjadi wabah penyakit di desa.
Karena dianggap tidak praktis, penduduk Sambori tidak berminat lagi membangun uma lengge. Sehingga keberadaannya semakin punah. Mereka lebih memilih mendirikan rumah panggung dari kayu (uma ceko dan pa’a sakolo) yang bercirikan bangunan rumah Makasar. Rumah panggung dapat menampung anggota keluarga lebih besar dan dari segi privasi lebih terjaga. Seiring dengan percepatan masyarakat setempat, secara perlahan uma lengge mulai ditinggalkan. Sebagian masyarakat menganggap uma lengge mewakili status sosial lebih rendah.
Sistem penguasaan sumberdaya alam di atas masih berlangsung hingga terjadi pengalihanPemerintahan Swantantra ke Pemerintah Indonesia. Berdirinya Pemerintah RI membawa konsekuensi perubahan sistem penguasaan sumberdaya alam. Misalnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Penduduk menganggap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, terutama kayu menjadi hak penguasaan mereka.


Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info Mbojo


My Great Web page
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger