Home » , , , » Destinasi Wisata di Bima, Dana Mbojo

Destinasi Wisata di Bima, Dana Mbojo


Bima itu Mbojo mengandung makna bahwa orang-orang yang merasa dilahirkan dan dibesarkan dari peradaban tanah ini harus bersatu padu membangun daerah tanpa harus dipisahkan oleh sekat-sekat birokrasi, kepentingan politik maupun wilayah yang telah dimekarkan. 


Mbojo adalah sesuatu yang bulat dan utuh yang dihasilkan melalui kesepakatan para Ncuhi sebagai cikal bakal terbentuknya wilayah ini. Dengan Kata lain, bahwa Orang-Orang Mbojo atau Dou Mbojo adalah orang-orang yang bersatu, memegang teguh amanat, ulet dan pekerja keras. Untuk itu lah, Bima itu Mbojo memberikan gugahan makna kebersamaan, persatuan dan kesatuan serta persaudaraan yang kental seluruh elemen di Dana Mbojo. Terpanggil untuk memperkenalkan daerah Bima/ Mbojo kepada Masyarakat Luar dan lebih-lebih kepada Dou Mbojo itu sendiri agar tidak merasa asing akan daerah Bima / Dana Mbojo. 
Berikut ini kami coba sajikan secara acak berbagai Sejarah, Tradisi, Wisata / potensi wisatanya yang kami rangkum dari berbagai tulisan dan narasumber sebagai berikut :

1. Benteng Asa Kota




Di Pintu masuk Kota Bima, tepatnya di teluk Bima sebelah utara terdapat sebuah benteng. Masyarakat Bima menyebutnya dengan Benteng Asa Kota. Karena letaknya tepat di laut sempit yang menjadi pintu masuk Bima lewat jalur laut. Benteng ini penuh dengan romantika sejarah. Bagaimana Sejarah Benteng ini 

Karena tidak setuju terhadap isi perjanjian Bongaya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin bersama Panglima perang Makassar Karaeng Popo meninggalkan Makassar dan membentuk kekuatan armada angkatan laut Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin mentaati perjanjian Bongaya sama dengan bunuh diri dan tunduk pada Kompeni.

Selama pelariannya dari Makassar dua pendekar itu menyerang, merampas dan menenggelamkan kapal-kapal Kompeni karena kesal atas trik dan siasat adu domba Kompeni yang memaksa iparnya Sultan Hasanuddin harus menandatangani perjanjian Bongaya yang syarat dengan ketidak adilan. Di dalam perjanjian tersebut terdapat lima pasal yang berhubungan dengan Bima. Dan salah satu pasalnya adalah menangkap Abdul Khair Sirajuddin hidup atau mati.

Benteng ini dibangun pada sekitar tahun 1667 di sebuah pulau kecil yang diberinama Nisa Soma. Tepat dipintu masuk teluk Bima yang diberinama ASA KOTA( Asa= Mulut, Kota = Kota). Jadi Asa Kota merupakan pintu masuk menuju Bima dengan melewati Teluk Bima yang indah, tenang dan damai. Benteng Asa Kota dibangun dari tumpukkan batu-batu besar dan kecil yang disusun rapi mengelilingi Nisa Soma seluas lebih dari 1 hektar.

Pembangunan Benteng Asakota dihajatkan untuk mengintai dan menghalau kapal-kapal Kompeni yang memasuki wilayah Bima dan merupakan basis pertahanan armada Angkatan Laut kerajaan Bima yang bernama Pabise. Bila ari laut surut, maka benteng Asa Kota dengan daratan di sekitarnya terlihat menyatu. Penduduk sekitar sering mendaki bukit di Nisa Soma ini untuk mencari kayu bakar.

Benteng Asa Kota adalah peninggalan berarti dari perjalanan sejarah Dana Mbojo dan merupakan salah satu benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Benteng ini kondisinya sekarang cukup memprihatinkan dan membutuhkan renovasi dan rekonstruksi sesuai bentuk aslinya sebagai sebuah kenangan sejarah untuk generasi mendatang.

2. ASI Mbojo (Istana Kesultanan Bima)





Bangunan yang dulunya merupakan pusat Kesultanan Bima dan pusat Pemerintahan Kabupaten Bima pada tahun 1950 masih berdiri dengan kokoh dan tegap yang merupakan symbol Dana Mbojo (Bima), atau lebih dikenal dengan nama Asi Mbojo. Dan kini oleh 

Pemerintah setempat dijadikan sebagai Museum, awal dibangunya Asi Mbojo (Istana Bima) pada tahun 1927 oleh arsitek Belanda yang bernama Obzicshteer Rehata dan sebagiannya juga di desain oleh sultan sendiri yaitu Muhammad Salahuddin (sulthan Bima yang terakhir).

Museum Asi mbojo diserahkan kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) oleh Sultan Muhammad Salahuddin pada tahun 1951, dan tahun 1989 resmi dijadikan Museum oleh pemerintah kabupaten Bima hingga sekarang. Museum ini di kelola oleh pemerintak Kabupaten Bima dan di kepalai oleh Bapak Ridwan Maman, S.Ag (40) dengan 24 Pegawainya.

Isi dari beberapa koleksi Museum Asi Mbojo antara lain Benda-benda Pusaka peninggalan Kerajaan dan kesultanan Bima, dan yang paling terpopuler dari Koleksi Museum yaitu “Gunti Rante” sebuah parang yang sangat menakjubkan di ukir pada Zaman Majapahit dan Mahkota Sulthan yang terbuat dari Emas. Koleksi – koleksi Benda Pusaka, pengunjung Museum dapat melihatnya di ruangan Galeri Benda Pusaka di lantai satu, di lantai satu juga terdapat ruangan galeri benda-benda perkakas dan baju-baju peninggalan masyarakat pada zaman kerajaan dan kesultanan, di lantai satu ini dulu merupakan kantor pusat pemerintahan Kabupaten Bima 1951 hingga 1960. Bangunan – bangunan di lantai satu dan dua masih asli dan tidak pernah di Renovasi hingga sekarang.

Bila pengunjung juga ingin melihat Kamar tempat menginapnya Bung Karno (Ir. Soekarno) pengunjung dapat melihatnya di lantai 2, di lantai 2 pengunjung juga bisa melihat kamar – kamar Sulthan, putra Mahkota, dan kamar Putri. Ibu Nurhaini (45) Pegawai Museum yang bertugas untuk menemani para pengunjung untuk berkeliling kepada kami (Solud) bercerita “ bahwa dulu istana Asi yang pertama pernah di Bom pada masa peperangan sehingga di bangun Asi Kontu (istana belakang) untuk sementara, dan bangunan Museum saat ini adalah bangunan Asi yang kedua setelah yang pertama di bom” begitulah yang diceritakan oleh ibu Nurhaini.

Bila ingin berkunjung ke Museum Asi Mbojo pasti tidaklah sulit menemukannya, karena letaknya yang strategis pas di sebelah alun-alun Kota Bima, karcis untuk masukpun sangat murah untuk Dewasa atau Umum hanya Rp. 2000, anak- anak Rp. 500, Turis Rp. 3000, dan Pelajar dan Mahasiswa Rp. 1000.
Menurut kepercayaan Masyarakat Bima bahwa Museum Asi Mbojo masih memiliki Aura mistisnya, banyak kejadian-kejadian aneh dan hal-hal gaib yang terjadi di Museum ini, karena Asi (Istana) masih dijaga oleh para leluhur. Karakter bangunan Museum Asi Mbojo dalam pandangan Masyarakat Bima pada umumnya sangat Religius, dulu merupakan tempat semua masyarakat belajar Islam pada zaman Kesultanan Bima.

3. Pantai Lawata



Pantai Lawata adalah berupa sebuah “tonjolan” ke teluk Bima. Di Lawata terdapat sebuah bukit kecil yang memiliki beberapa buah gua kecil.Lawata memang sudah sejak dulu menjadi sebuah obyek wisata atau tempat piknik bagi masyarakat Bima. 

Lawata terletak hampir di luar kota Bima. Pantainya bukanlah tempat yang bagus untuk bermain air, namun air (laut)nya bisa dibilang cukup jernih walaupun kadang berlumpur dan banyak batu-batu yang berserakan. Karena historinya, 

Lawata kemudiandibangundibuatkan banyak “cottage” yang berderet di sepanjang pantainya. Setiap cottage memiliki bagian “ dalam yang bisa digunakan untuk lesehan, bagian luar/depan yang bisa digunakan untuk memandang ke arah laut/teluk, dan tempat berbeque di sebelah luar/belakang. Tampaknya, setiap cottage cukup untuk sebuah keluarga atau rombongan yang lebih dari 10 orang.

4. Soromandi


Wisata Alam Soromandi Bima adalah salah satu kota kecil yang terletak di ujung timur Propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat), di bumi Ngaha Aina Ngoho ini tersimpan banyak sekali aset-aset alam yang menyimpan sejuta pesona yang masih belum terjamah, dan perlu untuk di gali dan dijadikan sebagai objek wisata.

Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar ini ambil dari hasil jepretan komunitas pecinta alam bima "KOPA MBOJO" (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan kita hanya semata memperkenalkan Dana Mbojo / bumi Ngaha Aina ngoho yang kita cintai.

5. Desa Campa


Campa adalah salah satu desa kecil yang letaknya di kabupaten Bima, NTB, khususnya di kecamatan Madapangga.

Letaknya memang jauh dari keramaian, tetapi campa juga menyimpan keindahan alam yang mungkin banyak orang yang belum tahu akan hal ini.
Contohnya seperti wana wisata OI TABA, kalo yang ini mungkin sudah banyak yang tahu, tetapi ada satu tempat yang belum orang tahu letaknya yaitu AIR TERJUN, kalau dilihat air terjun ini bisa dikelola untuk dijadikan sebagai wahana wisata dan bentuk wahana wisata ini 

adalah semacam tempat meluncur tapi bedanya tempat meluncur terbentuk oleh alam, jadi suasananya sangat extrim dan alami. 

6. Oi Wo'bo (Air Panas) Desa Maria Kecamatan Wawo




Obyek wisata yang satu ini merupakan obyek wisata alam sekaligus sejarah. Karena tempat ini juga di kenal dengan pesanggarahan (Tempat Peristirahatan) para pejabat Belanda dan dibangun pada masa kolonial. Jaraknya hanya sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Raba-Bima.

Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo.

Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.

Menurut Legenda, adanya mata air Wobo ini berawal dari keinginan Putera Mahkota Kerajaan Bima untuk melakukan perjalanan dan petualangan ke arah Matahari Terbit. Ketika di tengah hutan mereka kelaparan dan kehausan. Sementara bekal mereka sudah habis. Akhirnya Putera Mahkota mengeluarkan tongkatnya dan Wobo (Bima : Cambuk). Putera Mahkota memukul bebatuan di sekitar hutan itu, maka keluarlah mata air dari celah bebatuan. Alangkah girangnya semua pengikut Putera Mahkota itu. Mereka meminum sepuas-puuasnya.

Pada perkembangan selanjutnya mata air itu mengalir menuju ke segala lini. Masyarakat mendekati tempat itu dan mendirikan perkambungan yang hingga saat ini dikenal dengan Rasa Wawo ( Kampung Atas). Karena lokasinya memang di daerah pegunungan dengan cuaca yang dingin dan sejuk. Pada masa kolonial di sekitar mata air ini dibangun sebuah tempat peristirahatan yang dikenal dengan Pesanggarahan. Di Bima ada dua bangunan bersejarah yang dibangun semacam ini, yaitu di Wawo dan Donggo. Keduanya memang berada di daerah pegungungan yang dingin dan sejuk.

Pesanggrahan dan Kolam Renang Oi Wobo adalah salah satu situs sejarah dan sumber PAD bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Biaya masuk ke lokasi ini sebesar Rp.5000 untuk kendaraan roda 4 dan Rp.1000 per orang. Perlu penataan dan pengelolaan yang lebih professional dalam rangka memanfaatkan obyek wisata ini demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

7. Desa Tradisional Sambori




Sambori merupakan salah satu dari lima desa di lereng gunung Lambitu di sebelah tenggara kota Bima.
Ada dua fersi tentang nama Sambori. 
Fersi pertama mengemukakan asal mula kata Sambori adalah SAMBORE (Palu), yang berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kespekatan bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah Sambore(Palu) kesepakatan itu.

Fersi kedua, Sambori berasal dari kata SAMPORI yang dalam bahasa Bima berarti melepaskan diri. Karena setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.

Sebelum pemekaran kecamatan pada tahun 2006, Sambori dan sekitarnya masuk dalam wilayah kecamatan Wawo. Orang-orang Bima sering menyebut dengan nama Wawo Tengah. Sambori dan desa-desa di sekitarnya terletak di ketinggian 700 Meter di atas permukaan laut. Memandang Sambori dari kejauhan seperti negeri yang menggantung menyelinap dalam awan dan kabut. Dibalut keluguan dan keramahan warganya, Sambori adalah pelepas rindu akan nyanyian alam yang syahdu bersahaja.

Desa Sambori berbatasan dengan Desa Renda kecamatan Belo Kabupaten Bima di sebelah barat,dan hutan tutupan Arambolo di sebelah timur. Di sebelah utara berbatasan dengan desa Teta sebagai ibukota kecamatan Lambitu, dan di sebelah utara bersebelahan dengan desa Kawuwu kecamatan Langgudu. Desa Sambori terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Lambitu yang dihuni 222 Kepala Keluarga dan Sambori Bawah (Dusun Lengge) yang dihuni 930 Jiwa serta 223 Kepala Keluarga.

Sebagai daerah puncak yang berjarak sekitar 44,3 KM, Sambori potensial untuk pengembangan tanaman Bawang Putih, Jeruk , Alphokat, Rambutan, Mangga, Pisang, Sawo, Jambu Batu serta tanaman lainnya.Di lereng Sambori terdapat 275 pohon Jeruk, 300 pohon Alpukat, 450 pohon Mangga, 300 pohon kelapa, 200 pohon pinang serta aneka pepohonan lainnya.

Di sector peternakan, kawasan Sambori sejak dulu memang telah dikenal sebagai areal pengembalan ternak seperti kuda, kerba, Sapi dan Unggas. Namun yang paling dominan digeluti warga Sambori dan sekitarnya adalah tanaman padi dan Bawang Putih serta ternak Kerbau, Sapi, kambing dan jenis unggas. Berternak memang telah menjadi tradisi turun temurun warga Sambori dan sekitarnya. Hal itu dibuktikan dengan prototype Uma Lengge yang di lantai dasarnya memang diperuntukkan untuk penyimpanan dan pemeliharaan ternak.

Desa Sambori memiliki luas sekitar 1.802 Ha atau sekitar 33,58 % dari luas wilayah kecamatan Lambitu. Sekitar 1.260 Ha adalah lahan Sawah dan tegalan.Sisanya diperuntukkan untuk pemukiman dan prasarana umum, perkebunan rakyat dan kawasan lindung seluas 736 Ha.Topografi wilayah Sambori dan sekitarnya berbukit-bukit dan datar yang menyebar di sepanjang lereng Gunung Lambitu. Suhu udara di Sambori rata-rata antara 20 hingga 25 C.

Berdasarkan Sensus Penduduk dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima Tahun 2010, Jumlah penduduk desa Sambori sebanyak 1786 jiwa dengan jumlah penduduk Laki-laki sebanyak 895 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 891 Jiwa. Jumlah kepala keluarga sebanyak 440 KK yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan peternak.

Ladang Pengembangan Apotik Hidup

Berada di ketinggian 500 sampai 700 Meter Di atas permukaan Laut, Sambori dan Sekitarnya sangat cocok untuk budidaya tanaman-tanaman obat seperti Jahe, Kunyit, Lengkuas, Mengkudu, Temulawak, Kumis Kucing, Kencur, Bangle, Tempuyang dan lain-lain. Tanaman ini disamping tumbuh secara liar di pegunungan Lambitu, juga diupayakan dan dikembangkbiakkan oleh masyarakat. Yang paling banyak dikembangkan warga disamping bawang putih dan padi adalah Kunyit dan Tempuyang.

Sejak dulu, orang-orang Sambori memang terkenal sebagai penjual Kunyit dan Tempuyang bahkan sampai di kota Bima dan Dompu. Sekitar 20 Hektar lahan tegalan di Sambori dimanfaatkan warga untuk menanam kunyit. Ada juga sekitar 7 Hektar lahan yang dimanfaatkan untuk menanam Tempuyang. Proses produksi dan pemasaran warga Sambori terhadap tanaman obat ini masih sangat sederhana dan tradisional yaitu dengan menjajakan dari kampung ke kampung, disamping dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi. (alan)

8. Rumah Solud, Desa Sambori



Desa Sambori adalah sebuah desa yang berada di atas dataran tinggi pegunungan Lambitu dan termasuk wilayah Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima.

Desa Sambori hanyalah sebuah Desa yang sangat kecil dengan kehidupan yang masih tergolong Tradisional. Masyarakat Sambori rata-rata bekerja sebagai Petani dengan penduduk 800 jiwa ± dan di kepalai oleh seorang Kepala Desa, mereka bercocok tanam sejak zaman nenek moyang mereka berada.
Jarak Desa Sambori dari Bima hanya 400 KM, tetapi sekarang kendaraan tidak lagi susah untuk ke Sambori karena pemerintah setempat sudah membuat jalan yang baru dan di Aspal.

Kebiasaan masyarakat Sambori yaitu makan daun sirih karena suhu dan udara di Desa sambori sangat dingin sehingga untuk menghilangkan kedinginan, mereka makan daun sirih yang di campur dengan beberapa ramuan sehingga badan mereka jadi hangat. Ada satu keunikan dari masyarakat Desa Sambori yaitu mereka masih mempergunakan bahasa yang lain dari bahasa Bima dan sekitarnya, banyak orang mempunyai anggapan dan persepsi masing-asing bahwa bahasa Sambori adalah bahasa asli Suku Bima atau bahasa nenek moyang, yang hingga sekarang masih dipergunakan oleh masyarakat Desa Sambori.

Kehidupan masyarakat Desa Sambori sangat sederhana, iu tampak dari bentuk dan perabotan yang ada dirumah mereka, Masyarakat Desa Sambori bisa dibilang masih tergolong terbelakang mengenai Tekhnologi maupun perkakas untuk keseharian mereka yang berkembang disaat ini, hingga mereka banyak yang masih menggunakan peralatan dan perkakas yang masih Tradisional, Panci untuk masak mereka masih menggunakan panci yang terbuat dari tanah liat, dan yang lebih menarik lagi di Sambori bila hujan turun mereka tidak menggunakan payung pada umumnya, akan tetapi mereka menggunakan sebuah kulit pohon atau daun Pandan maupun Rotan yang di buat untuk menjadi payung, masyarakat setempat menyebutnya “WAKU” dan orang Bima mengenalnya dengan nama “LUPE”.

Masyarakat Desa Sambori Banyak yang memeluk Agama Islam, karena ada sebuah cerita sejarah lama yang diyakini oleh Masyarakat Sambori yaitu sejak berdirinya Kerajaan Bima, Islam pertama kali masuk di Kerajaan Bima melalui dataran tinggi yaitu di Sambori oleh seorang Ulama dari Ternate yang bernama “Syekh Subuh”, karena Beliau tiba di Sambori saat Subuh, kemudian Syekh Subuh menyiarkan ajaran Islam di Sambori, makam Syekh Subuh berada di atas Puncak Gunung Sambori, atau di sebut kuburan keramat.

9. Desa Tradisional Donggo



Donggo, dengan jarak 40 Km adalah desa tertua di Bima, penduduk desa ini memiliki pakaian dan tradisi yang berbeda dari desa-desa lainnya. 

Mereka memelihara tradisi etnik uniknya dengan selalu memakai pakaian hitam, masih mempertahankan tingkatan hierarkinya dan membangun rumah tradisional mereka sendiri.

Donggo adalah sebuah Desa yang terletak di atas pegunungan Soromandi sebelah barat Kota Bima dengan ketinggian 1200 Meter, 

Donggo mempunyai keistimewaan dari Desa lain yang berada di Bima yaitu berbagai macam legenda rakyat dan tempat-tempat peninggalan sejarah berada di Donggo, salah satu Legenda rakyat yang terkenal yaitu kisah Putri La Hila.

La Hila adalah nama Putri cantik anak dari raja Donggo dahulu kala, La Hila mempunyai rambut sepanjang 7 buah bambu dan paras cantiknya sangat menggoda para Raja yang melihatnya, kejadian yang melegenda dari La Hila yaitu dia dikubur hidup-hidup karena dia tidak ingin menerima lamaran dari salah satu Raja Bima, setelah kuburannya di buka ternyata jasad La Hila telah hilang, hingga sekarang masyarakat Donggo mempercayai bahwa La Hila sering menampakkan diri dengan wujud wanita cantik.

Di Donggo masyarakatnya masih menjada adat istiadat leluhurnya sehingga masih terdapat rumah yang dulunya bertempat tinggal kepala suku atau di sebut Ncuhi Donggo yang terdapat di Donggo Mbawa, ada dua agama yang dianut oleh masyarakat Donggo yaitu Kristen Katolik dan Islam, penganut agama Katolik di Donggo yang uniknya yaitu mereka memakai nama Islam akan tetapi agamanya Katolik.

Ada cerita rakyat yang menarik lagi di Donggo yaitu dahulu kala sebelum terbentuknya kerajaan Bima, Raja dari Pulau Jawa yang dulu pernah berjanji akan mengirim anaknya untuk memimpin tanah Mbojo (sebutan tanah Bima dahulu kala), sang Raja mengirim kedua anaknya ke Bima dengan sebatang bambu, kemudian di pinggir pantai Donggo hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua renta dan belum mempunyai anak, tiap malamnya mereka berdua mendengarkan bunyi gendang yang sangat besar, dan mereka berdua pun memeriksa dari mana asal suara gendang tersebut tetapi mereka tidak menemukan sumber suara tersebut.

Ke esokkan harinya Ompu (panggilan sang suami) pergi kepinggir laut untuk mencari kayu bakar, dan dia menemukan sebatang Bambu kemudian Ompu mengambilnya membawa pulang kerumahnya, malam harinya suara gendang tersebut masih ada Ompu beserta istrinya sangat penasaran dari mana suara gendang tersebut. Pagi harinya Ompu akan membelah kayu yang dia kumpulkan dengan sebuah kapak, kemudian pas Ompu ingin memotong Bambu yang dia temukan di pinggir pantai, mengeluarkan suara yang melarang memotong bambu tersebut dan keluarlah dua pangeran bersaudara dari Bambu tersebut yang merupakan anak dari Raja Pulau Jawa yang datang untuk memimpin Bima seperti yang dijanjikan. Kemudian salah satu saudara tertua dari kedua bersaudara itu menjadi Raja Bima yang bernama Indra Zambrud yang menjadi asal usul Raja-raja Bima.(Fahrurizki)

10. Pantai Kalaki




Pantai Kalaki adalah pantai berpasir yang cukup landai, terletak di sebelah selatan kota Bima. Dari kota Bima, melewati Lawata menuju ke arah Lapangan Terbang Palibelo. Di Kalaki, pengunjung bisa bermain air laut yang dangkal, atau piknik sambil menikmati pemandangan laut teluk Bima. Pengunjung Pantai Kalaki umumnya berasal dari kota Bima dan dari kecamatan Woha dan Belo/Palibelo.

Pada waktu liburan seperti saat Aru Raja (Lebaran), pantai Kalaki ramai sekali. Para pedagang jauh-jauh hari sudah mendirikan tenda-tenda di pinggir jalan sepanjang pantai. Sebenarnya, pantai Kalaki tidaklah terlalu bagus. Pasirnya bercampur lumpur sehingga kalau dilalui akan menjadi keruh. Di samping itu terdapat banyak batu-batu yang cukup tajam jika diinjak, dan tentu sangat tidak nyaman karena bisa menyandung. Pantai juga terlalu landai sehingga untuk mendapatkan kedalaman yang cukup untuk berenang atau menyelam, pengunjung harus masuk jauh ke dalam laut.

Jika air laut surut, pemandangan menjadi tidak sedap lagi karena air menjadi sangat jauh ke dalam sementara daratan yang ditinggalkannya tampak penuh batu yang berserakan. Pemda Kabupaten Bima yang menjadi “pemilik” pantai Kalaki tampak sudah melakukan beberapa “pembangunan” di pantai tersebut, berupa beberapa shelter yang bisa digunakan oleh pengunjung untuk berteduh dan duduk-duduk. Namun jumlahnya tentu tidak mencukupi saat pengunjung ramai seperti ketika Aru Raja. Pengunjung akhirnya menggelar tikar dan berkelompok di kebun orang di seberang pantai. Mereka umumnya mengadakan acara berbeque atau “bakar-bakar” di tempat itu. Biasanya, yang dibakar adalah ayam dan ikan laut. Pantai Kalaki, sekali lagi, menjadi pilihan masyarakat untuk piknik karena tidak banyak pilihan yang lebih baik lagi. Pantai di teluk Waworada (sebelah timur Karumbu) yang lebih indah dengan view pantai selatan sangat jauh dan fasilitas jalan juga belum memadai. Dalam hal ini, Pemda Kabupaten Bima masih harus berperan lagi dalam menata obyek wisata yang dibutuhkan oleh masyarakat

Kalaki Kabupaten Bima minggu (24/7). Warga kota Bima maupun kabupaten Bima berjubel mengunjungi areal wisata itu untuk menyaksikan berbagai mata lomba yang digelar di event yang baru pertama kali dilaksanakan di Bima itu. Sejak pukul 8 pagi areal pantai kalaki mulai ramai dikunjungi warga untuk berwisata sekaligus menyaksikan festival Teluk Bima.

M. Irfan dari bima Kreatif selaku panitia pelaksana mengemukakan bawhwa festival Teluk Bima merupakan salah satu upaya untuk mempromosikan pariwisata Bima sekaligus mendukung program Visit Lombok and Sumbawa 2012. “ 

kegiatan-kegiatan yang kita lakukan antara lain pawai budaya, lomba dayung tradisional dari pantai Lawata menuju Kalaki, lomba perahu hias, lomba mendongeng untuk para pelajar, lomba menangkap bebek, pagelaran kesenian, serta penganan ikan sepanjang 1 KM.” urai Irfan di celah-celah kegiatan festival.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima H. Nurdin, SH menyambut baik kegiatan festival yang digagas Forum Bima Kreatif bekerja sama dengan Dinas Budpar, Dinas Kelautan Dan 
Perikanan, Basarnas, Perhubungan,Kepolisian dan Instansi terkait lainnya. “Kita berharap event ini akan terus menjadi agenda tahunan untuk kita benahi pelaksanaannya kedepan. “ Harap Nurdin.
Kegiatan itu cukup menyedot perhatian masyrakat baik di kota maupun Kabupaten Bima.Kegiatan festival berakhir hingga menjelang magrib dengan agenda terakhir penarikan Door prize dari panitia.

11. Budi Daya Rumput Laut


Budidaya Rumput Laut disamping untuk kesejahteraan masyarakat bisa juga berpotensi untuk tujuan wisata. Budidaya rumput laut ini dikembangkan Di Kecamatan Sape, Lambu, Langgudu dan Wera dengan rata-rata produksi per tahun mencapai 171 Ton. Pengolahan yang baik dapat meningkatkan produksi. Budidaya rumput laut akan tetap dikembangkan guna menjawab tantangan pasar yang permintaannya terus mengalami peningkatan setiap tahun. 

Potensi pesisir yang cocok untuk rumput laut merupakan peluang untuk terus meningkatkan produksi rumput laut di Kabupaten Bima guna memenuhi permintaan ekspor yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Kota Bima juga terdapat areal pembudidayaan Rumput Laut yang dalam Bahasa Bima disebut KAHAO. Lokasinya adalah di sekitar pantai So Nggela, Bonto hingaa Toro Rui Londe di kecamatan Asa Kota.

12. Kopa Sahe Tente


Bagi warga Bima, Menu Kopa Sahe merupakan salah satu menu pilihan untuk berbuka puasa. Yah, Kopa Sahe hanya dikenal di desa Tente kabupaten Bima. Seperti apa menu makanan khas Bima yang satu ini ? Berikut, Kru Sarangge melaporkan untuk anda.
Desa Tente kecamatan Woha Kabupaten Bima sudah lama dikenal sebagai urat nadinya perekonomian di daerah ini. Bisa dikatakan Tente merupakan pusat perdagangan dan perbelanjaan masyarakat dari berbagai pelosok pedalaman di kabupaten Bima seperti dari Langgudu, Parado, Monta, Belo dan Palibelo.

Disamping itu, di desa ini juga terdapat satu tempat pemotongan hewan yang dikenal dengan BANTE. Pemotongan hewan seperti kerbau, Sapi dan Kambing dilakukan setiap hari.

Ada satu makanan khas dari desa ini yaitu Soto Kaki Kerbau atau yang dikenal dengan Kopa Sahe. Ini adalah salah satu produk andalan Desa Tente yang cukup banyak digemari oleh berbagai kalangan, baik orang Bima sendiri maupun orang luar Bima. Kopa Sahe merupakan makanan yang berbahan dasar dari kaki kerbau. Kaki Kerbau diolah dan dimasak dengan bumbu yang telah di tentukan jenis dan porsinya. Salah satu pedagang Kopa Sahe Rohana Ahmad yang telah lama melakoni profesi ini mengatakan Kopa Sahe cukup diminati. Kisaran hasil yang diperolehnya setiap hari adalah 300-400 ribu rupiah. Namun menurutnya hasil tersebut belum mampu digunakan untuk modal mengembangkan usahanya tersebut. Harapnya Pihak Pemerintah memperhatikan pedagang-pedagang kecil agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan prodak daerah sehingga kian diminati dan dilirik khalayak ramai.

Hanya saja, penjualan dan pemasaran makanan ini masih dilakukan secara tradisional dengan dijajakan dari kampung ke kampung. Belum ada satupun pedagang Kopa Sahe yang menjual di di depan jalan utama Tente atau di warung-warung di pasar Tente. Justru yang banyak dijumpai di depan jalan-jalan utama Tente adalah warung dan rombong Bakso, Nasi campur dan soto serta Sate Kambing. Ini tentunya menjadi PR bersama untuk mendorong para pedagang Kopa Sahe menjual makanan ini di depan jalan-jalan utama Tente agar mudah dilihat dan dikunjungi daripada berada di dalam kampung seperti yang dilakukan selama ini.
Desa Tente letaknya tidak jauh dari Bandar Udara Muhammad Salahuddin Bima. Jika menggunakan kendaraan bermotor cukup menghabiskan waktu sektar 10 menit. Secara geografis desa ini berdaratan rendah dan diapit oleh sawah. Sebalah Selatan berbatasan dengan Desa Naru, sebelah Utara berbatasan dengan Rabakodo, Sebelah Barat berbatasan dengan Samili dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cenggu Kecamatan Belo. Baru-baru ini Tente dimekarkan menjadi dua bagian yaitu desa Nisa dan desa Naru. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3.383 orang dan 878 Kepala Keluarga, sumber mata pencaharian masyarakat Desa Tente beragam, diantaranya pedagang, petani, pelaut dan PNS.




Ama Hami secara akses sangat dekat dengan pusat kota, kalau memakai kendaraan kurang lebih 15 menit.
Tempat bersenda gurau bersama sahabat atau kekasih, sambil meminum beberapa gelas kopi atau kopi susu, Sore yang indah :)


Follow Twitter @Info_Mbojo & Facebook Info_Mbojo
Share this article :

0 Komentar:

Posting Komentar

Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re

 
Support : Forum Dou Mbojo | Tofi Foto | Info Mbojo
Copyright © 2007. Mbojo Network, Berita dan Informasi Bima Dana Mbojo - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Dominion Rockettheme
Proudly powered by Blogger