Kecamatan Sape Beradarah
Saya tidak tahu dari mana untuk memulai tulisan ini, masih terkaget dengan informasi meninggalnya masyarakat sape yang bentrok dengan aparat disana, sebuah tindakan yang lagi-lagi ditempuh oleh aparat yang katanya pengayom rakyat di negeri ini, yang "katanya" lagi paradigmanya sudah berubah dari represif menjadi persuasif.
Sekuat apa saya berusaha mencoba memposisikan se-netral mungkin untuk mencermati sesuatu, tapi perang bathin pasti terjadi. toh kenyataannya setiap konflik yang timbul di negeri ini selalu diakhiri dengan sikap represif dari aparat. Dan selalu atas nama oknum "kalau merasa terpojok", kalau ada pengusutan maka oknum aparatlah yang menjadi kambing hitam, setahu saya tidak pernah ada pelantikan atau pendidikan oknum aparat tersebut, saya bingung, sangat bingung, posisi si oknum tersebut ada dimana?". sedangkan kalau masyarakat yang "represif" dianggap sebagai anarkisme masyarakat, jarang saya dengar oknum masyarakat, kalaupun ada akan terdengar aneh "Oknum Masyarakat". Setahu saya atau yang saya alami, masyarakat Bima adalah masyarakat yang cenderung santun namun akan cepat tersulut emosi kalau merasa tersakiti (khususnya Sape), apa salah mereka menuntut rumah mereka sendiri?" mereka hanya ingin rumah tinggal mereka tenteram dan bisa mencari nafkah dengan tenang. sepertinya pemerintah daerah masih memakai cara-cara kolonial, monarki yang menganut "top down", sedangkan perkembangan sekarang adalah cara-cara tersebut sudah dianggap kuno oleh negara-negara maju yang cenderung memakai "buttom up" yakni bagaimana pembangunan yang bertitik pada "partisipasi masyarakat". Sistem ini sangat cocok untuk negara kita yang cenderung paternalistik dan primordial. Gejolak Sape ini adalah akumulasi dari kemarahan masyarakat Sape yang berawal dari SK Bupati Bima nomor: 188.45/357/004/2010 tentang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan eksplorasi kepada PT SMN dengan meberikan kewenangan untuk mengeksploitasi 24.980 Ha (terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Sape, Lambu dan Langgudu).
Benturan kepentingan memang terjadi dan akan sangat susah untuk dipersatukan kalau kedua belah pihak besikukuh pada keinginan masing-masing, dimana UUD 45 Pasal 33 "(Ayat 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". "(Ayat 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". sepertinya menjadi legitimasi pemerintah untuk melakukan apasaja atas nama kesejahteraan masyarakat untuk mengekploitasi sebuah wilayah untuk mengejar PAD. tetapi tindakan represif tidak bisa dibenarkan untuk memaksakan hal ini, masyarakat juga punya hak untuk mengeluarkan pendapat, dimana hal ini juga diatur oleh undang-undang hak warga negara. bukankan ayat PERTAMA pada pasal tersebut secara jelas berbunyi "(Ayat 1) (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan". masyarakat/setiap warga negara dalam konteks kenegaraan berhak memperoleh pemenuhan atas kebutuhan hidup yang mendasar, khususnya dibidang sosial dan ekonomi. Adapun kebutuhan dimaksud diantaranya; makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan, dimana dalam konteks hukum properti adalah aturan-aturan yang mengatur kebutuhan mendapatkan tempat tinggal dan lingkungan hidup yang sehat.
Hak ini secara tegas diakui dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat dan dibaca pada ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 (Amandemen ke II) yang secara eksplisit menyatakan; “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan Lingkungan Hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Apakah juga keberadaan tambang tersebut sudah benar-benar dilakukan analisa AMDAL?" yang merupakan salah satu point terpenting ketika pemerintah memutuskan untuk mengeksploitasi sebuah kawasan atau wilayah.
Saya pikir masyarakat selalu dikorbankan ketika Pemerintah berurusan dengan kepentingan mengejar PAD (Pendapatan Asli Derah).
Saya pikir disini peran Dewan (DPRD) menjadi kunci untuk memediasi konflik yang terjadi, walaupun kadang kadang saya merasa pesisis dengan keberadaan mereka. Tapi paling tidak sedikit kita bisa berharap agar gejolak ini tidak meluas dan semakin diluar kendali. Mereka juga adalah bagian dari warga Bima yang mempunyai hak dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. DPRD yang merupakan "wakil rakyat" seharusnya bisa melindungki rakyatnya ketika mendapat ancaman keselamatan (jiwa atau kerusakan lingkungan hidup mereka).
Sape adalah salahsatu tonggak sejarah bagi Bima (Dana Mbojo) Teluk Sape yang di dalam Kitab Negara Kartagama disebut Teluk Sapi, sejak jaman Majapahit telah berfungsi sebagai pelabuhan pula yang ramai disinggahi kapal dan perahu merupakan pintu masuk Dana Mbojo pasa masa kerajaan dan kesultanan dulu. Masyarakat hanya ingin menuntut keadilan tidaklah pantas kalau dilawan dengan sikap represif dari aparatur pemerintahan.
Sekali lagi ANGGOTA DEWAN atau WAKIL RAKYAT "HARUS" segera turun tangan untuk mendinginkan eskalasi yang ada disana.
M. Taufiqurrahman
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re