Moralitas, kata yang telah lama terlupakan, dan dalam
realitas empiris membuktikan bahwa kosa kata tersebut sudah menjadi asing di
telinga manusia. Globalisasi dan westernisasi.. seakan akan menjadi sebuah
momok, kambing hitam dalam pergulatan kehidupan manusia dalam hidup. Bagaimanapun
budaya adalah sebuah proses bagaimana manusia menemukan jatidiri sebagai
manusia, dan budayalah yang mengantar manusia pada suatu pemahaman bahwa
manusia lebih mulia dari mahluk manapun di dunia. Namun bila kembali pada pokok
permasalahan tentang nilai moralitas…kita dapat menarik sebuah konsepsi
berpikir, bahwa manusia yang dikatakan sebagai mahluk yang paling mulia harus
di tinjau kembali.
Manusia yang memiliki akal dan hati sehingga tercipta sebuah
budaya, dapat di anggap rendah dari binatang, kembali lagi… globalisasi (gombalisasi) mengantar manusia pada sebuah budaya baru, budaya yang duniawistik, budaya yang
mengantar manusia pada sebuah lorong yang teramat gelap yang tidak akan dapat
menunjukan seorang manusiapun ke sebuah jalan yang menuju ke sebuah muara yang
bersifat ketuhanan. Dimana kekuasaan sudah dipertuhankan dengan segala
kekuasaan dan power yang ada pada kekuasaan itu, manusia lebih takut akan
kekuasaan daripada kepada Tuhan, seolah olah Tuhan tidak lebih daripada sebuah
identitas, yang akan tercantum pada sebuah kartu identitas. Tuhan menjadi
sebuah alasan untuk melakukan tindak kekerasan dan tuhan menjadi pembenaran
dari tindakan kekerasan tersebut. Tuhan dipersalahkan atas kemiskinan, tuhan
dianggap tidak adil, tidak berpihak kepada kaum lemah. Sementara di sebuah
gedung mewah tuhan mengisi semua rongga rongga ruangan, mulai dari perabotan
yang serba LUX, dimata orang orang tersebut Tuhan ada pada selembar kertas yang
berterakan sebuah nominal, makin besar nilai nominal tersebut maka makin MAHA
pula Tuhan yang Ia miliki DAN sembah.
Baru-baru ini, Bima dihentakkan dengan kasus pemukulan
(kekerasan) yang dilakukan oleh wali murid (orang tua) di sebuah sekolah MTS
yang notabene adalah salah satu sekolah yang berstandart internasional. Dimana pemukulan
tersebut mendapat “pembiaran” (restu) dari pihak kepolisian, kepala sekolah dan
jajarannya. Terlihat di video yang sudah tersebar di media-media televisi maupun
media online, ada beberapa oknum polisi dan pihak sekolah seperti tidak berdaya
menghadapi arogansi seorang yang bernama Syahbudin yang merupakan wali
murid/orang tua dari Alin yang melakukan tindak kekerasan terhadap salah satu
guru honorer yang bernama Syafrudin SPdi, dari video tersebut Syahbudin
menyuruh anaknya Muhammad
Andi Khairil Awalin (alin) mempraktekan bagaimana
Syafrudin memukulnya dan hal tersebut dituruti oleh sang anak yang terlihat
seperti mendapat angin karena dibiarkan oleh pihak sekolah dan oknum polisi
yang ada di TKP. Hal ini sangat mencoreng dunia pendidikan bukan saja untuk
Kota/Kabupaten Bima, namun di Indonesia secara umum.
Pihak polisi sendiri melalui Kapolsek RasanaE mengakui adanya empat orang petuhas pada saat kejadian (bisa dilihat dari video yang beredar di media masa), pertanyaannya adalah bagaimana mungkin polisi yang notabene adalah alat Negara yang bertugas untuk mengayomi dan melindungi warga Negaranya membiarkan kekerasan itu terjadi di depan mata mereka?”, melakukan pembiaran terhadap aksi brutal Syahbudin yang melecehkan seorang guru yang merupakan ujung tombak peningkatan SDM?. Lewat harian Lombok Post (Edisi Sabtu, 01 Oktober 2011), Kapolsek memberikan keterangan bahwa hal itu terjadi karena mendapat ijin dari pihak sekolah untuk melakukan “rekonstruksi” tersebut, terlepas apakah hal itu benar atau tidak, rekonstruksi hanya bisa dilakukan oleh polisi bukan oleh korban atau pelapor dan dilakukan setelah perkara sudah memasuki ranah hukum, bukan dilakukan pada saat kejadian perkara. Sungguh aneh kalau pihak kepolisian tidak mengambil tindakan kekerasan seperti ini dilakukan di depan mata mereka, lalu pertanyaannya adalah dimana kredibilitas kepolisian kalau hal semacam ini dibiarkan?”, pembiaran-pembiaran seperti ini akan memancing tindakan kekerasan-kekerasan lainnya.
Kasus ini menjadi seperti bola panas
yang menggelinding, arus desakan untuk mengusut tuntas kasus ini semakin deras,
baik itu sebatas gunjingan masyarakat Bima, aksi dukungan di media online dan
jejaring social, maupun aksi langsung turun berdemonstrasi.
Di Facebook sendiri lewat situs
jejaring social ini lewat grup yang bernama “SATU JUTA TAMPARAN BUAT SYAHBUDIN”
desakan untuk mengusut kasus ini semakin berkembang.
Dan hari senin (3 September 2011) beberapa komunitas yang
ada di Bima merencanakan untuk melakukan aksi damai untuk memberikan dukungan
moril kepada Guru-guru untuk mengusut tuntas kasus ini.
Lalu pertanyaan menggelitik di pikiran saya, apakan sebegitu
rendahnya kah kredibilitas guru dimata orang tua dan murid saat sekarang?”,
ketika bangsa kita terpuruk dengan korupsi dan segala keruwetan yang ada di negeri ini, karena sudah sering kali peristiwa kekerasan menimpa guru dan murid terjadi di negeri ini, yang dilakukan oleh orang tua/wali murid maupun guru (pendidik).
Disadari atau tidak, generasi saat ini dibesarkan dengan
kekerasan, baik itu yang bisa disaksikan secara langsung maupun di media-media.
Di televisi setiap hari kita disuguhkan dengan tindakan kekerasan, baik itu
lewat berita maupun serial, sinetron, ataupun film. Seolah-olah kekerasan
adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan dianggap sebagai sebuah “kewajaran”.
Agaknya bangsa kita sedang mengalami degradasi moral dan
kehilangan identitas. Untuk skala Bima dimanakah semboyan “Maja Labo Dahu”
(malu dan takut) itu?”, sudah usang dimakan jamankah?” (globalisasi).
Beberapa kawan mempertanyakan hak untuk Alin dan memandang
Alin hanyalah korban dari ketidak beresan orang tuanya (syahbudin) yang
notabene adalah sarjana Agama, namun pendapat saya, sebuah tindakan kriminal tetaplah
kriminal, dan harus dihukum dengan tindakan hukum, dan pengadilan anak saya pikir
sudah bisa mengambil peran disini, entah itu apa sanksi yang akan diterima oleh
Alin, baik itu penanganan khusus oleh psikolog atau sanksi lain. Saya pikir
sanksi sosial sudah bisa mereka rasakan sekarang, tapi proses hukum harus tetap
dilaksakan.
Selamat
berjuang kawan-kawan… Hukum harus tetap ditegakkan apapun itu resikonya...!!!
0 Komentar:
Posting Komentar
Santabe, ta komentar mena, bune kombi menurut ndai kaso ta re